Jakarta (ANTARA) - Kemandirian ekonomi desa tidak hanya tumbuh dari hasil panen atau usaha mikro, tetapi juga dari kemampuan warganya memahami dan mengelola uang dengan bijak.
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan meningkatnya akses terhadap layanan keuangan, literasi keuangan menjadi fondasi penting agar masyarakat desa tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi juga pengelola yang cerdas dan berdaya.
Desa sering digambarkan sebagai sumber kekuatan ekonomi bangsa, tetapi juga sebagai cermin paling jujur dari ketimpangan pembangunan. Dalam banyak kasus, masyarakat desa bukan tidak bekerja keras, melainkan tidak memiliki cukup pengetahuan untuk mengelola hasil kerja mereka. Salah satu bentuk ketimpangan yang jarang disorot adalah literasi keuangan, yaitu kemampuan memahami dan mengelola uang dengan bijak.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dilakukan OJK dan BPS mencatat bahwa tingkat literasi keuangan nasional mencapai 66,64 persen, sementara inklusi keuangan melonjak hingga 92,74 persen. Angka ini menandakan bahwa sebagian besar masyarakat sudah memiliki akses ke layanan keuangan formal, tetapi belum semua benar-benar memahami cara memanfaatkannya.
Kesenjangan semakin nyata ketika hasil survei dibedah berdasarkan klasifikasi wilayah. Indeks literasi keuangan di desa hanya 59,8 persen, jauh di bawah 71 persen di perkotaan. Sementara inklusi keuangan di desa mencapai 90 persen, masih tertinggal dari 94,5 persen di kota. Angka tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan memperluas akses belum otomatis diikuti oleh peningkatan pemahaman.
Di banyak desa, layanan keuangan masih digunakan secara pasif —sekadar membuka rekening untuk menerima bantuan sosial, misalnya— tanpa diiringi kemampuan mengatur tabungan, mencatat pengeluaran, atau menilai risiko pinjaman. Tak heran, praktik pinjaman daring ilegal dengan mudah menjerat warga desa yang minim informasi, bahkan menciptakan lingkaran utang baru di tengah upaya pemberdayaan ekonomi.
Edukasi keuangan tidak bisa hadir sebagai seremonial atau slogan saja. Edukasi tersebut harus berakar pada kebutuhan nyata masyarakat. Program pelatihan yang hanya membahas produk perbankan formal sering kali kurang relevan bagi petani, nelayan, atau pelaku usaha mikro di desa. Pendekatan yang terbukti efektif biasanya melibatkan komunitas lokal, misalnya melalui kelompok tani, koperasi simpan pinjam, atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dalam kegiatan-kegiatan semacam ini, edukasi keuangan dapat dikaitkan langsung dengan praktik sehari-hari, tentang bagaimana mencatat transaksi penjualan hasil panen, menyiapkan dana darurat, atau menilai kelayakan pinjaman usaha.
Baca juga: Mendes PDT: Kopdes Merah Putih pusat ekonomi terbaik di tingkat desa
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.








































