Jakarta (ANTARA) - Pajak bukan sekadar instrumen negara untuk mengumpulkan penerimaan, melainkan juga refleksi hubungan kepercayaan antara pemerintah, warga, dan dunia usaha. Ketika masyarakat mematuhi kewajiban pajak, itu bukan hanya karena regulasi yang mengikat, tetapi juga karena mereka merasa sistemnya adil, transparan, dan mudah diakses.
Namun, di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, hubungan kepercayaan ini kerap terganggu oleh kompleksitas administrasi, duplikasi data, dan prosedur birokratis yang memakan waktu serta biaya. Akibatnya, potensi penerimaan tidak termanfaatkan secara optimal, sementara keengganan masyarakat terhadap sistem pajak modern masih tinggi.
Salah satu akar persoalannya terletak pada fragmentasi identitas fiskal dan kependudukan. Selama bertahun-tahun, masyarakat menggunakan dua sistem identitas berbeda dimana NIK (Nomor Induk Kependudukan) untuk urusan sipil, dan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) untuk urusan fiskal. Perbedaan ini menimbulkan duplikasi data, kesulitan verifikasi, serta ruang manipulasi yang merugikan integritas administrasi pajak.
Dalam konteks digitalisasi birokrasi dan tuntutan efisiensi, model identitas ganda ini menjadi beban yang tidak relevan lagi. Data wajib pajak tidak jarang tidak sinkron dengan data kependudukan, menyebabkan kesalahan pelaporan, keterlambatan proses, hingga sulitnya penegakan hukum fiskal yang adil dan tepat sasaran.
Karena itu, lahirlah gagasan Single Profile Policy yaitu pemadanan satu identitas dengan menjadikan NIK sebagai kunci utama administrasi perpajakan. Kebijakan ini bukan sekadar inovasi teknis, melainkan langkah strategis menuju sistem fiskal yang lebih inklusif, efisien, dan terpercaya.
Dengan satu basis data tunggal, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengidentifikasi wajib pajak secara presisi, meminimalkan kebocoran data, serta memperkuat pengawasan dan pelayanan. Lebih dari itu, Single Profile Policy merupakan fondasi baru dalam membangun ekosistem kepatuhan sukarela di mana warga negara tidak lagi melihat pajak sebagai beban, tetapi sebagai bentuk kontribusi yang diadministrasikan dengan sistem yang sederhana, aman, dan transparan.
Mewujudkan kepastian pajak
DJP mencatat hingga akhir 2024, terdapat sekitar 72 juta NPWP aktif. Namun, setelah dilakukan proses pemadanan awal dengan data kependudukan dari Ditjen Dukcapil, ditemukan bahwa sekitar 18–20 persen data wajib pajak belum sepenuhnya cocok atau belum memiliki pasangan NIK yang valid.
Ketidaksinkronan ini mengakibatkan inefisiensi dalam pengawasan, rawan duplikasi identitas, serta memperlebar tax gap yaitu selisih antara potensi dan realisasi penerimaan pajak yang pada 2023 masih berada di kisaran 35 persen menurut estimasi Kementerian Keuangan.
Baca juga: Kadin-IAPI perkuat literasi akuntansi dan kepatuhan pajak pengusaha
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.








































