Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) menyampaikan Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) Ke-19 menyoroti penguatan ekosistem riset yang dinilai menjadi kunci dalam menghadapi dinamika geopolitik, risiko iklim dan akselerasi digitalisasi.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pembukaan BMEB Ke-19 dan Call for Papers sebagaimana dikutip dalam keterangan di Jakarta, Jumat, menegaskan tiga tren utama yang dihadapi perekonomian.
Ketiganya adalah dinamika geopolitik dan geoekonomi, perubahan iklim, serta digitalisasi dan disrupsi teknologi.
Menurut Perry, ketiga faktor tersebut perlu diantisipasi melalui kebijakan yang adaptif dan sinergis agar selaras dengan agenda pembangunan nasional Astacita pemerintah.
“Tantangan ini menuntut kita semua, para peneliti ekonomi, pembuat kebijakan, dan saya sendiri sebagai gubernur bank sentral, untuk beradaptasi dan menyesuaikan kebijakan agar mampu menjaga stabilitas sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Perry.
Untuk menjaga perekonomian dari dampak rambatan global, Perry menyampaikan lima respons kebijakan yang telah diterapkan Bank Indonesia.
Lima kebijakan itu meliputi pengembangan dan penerapan bauran kebijakan bank sentral di tengah fragmentasi global dan ketidaksempurnaan pasar, pengembangan sistem pembayaran digital, kebijakan mendorong keuangan keberlanjutan dan inklusif, penguatan koordinasi dengan pemerintah, serta peningkatan kerja sama lintas negara.
Sejumlah isu strategis turut mengemuka dalam konferensi BMEB Ke-19. Terkait isu perubahan iklim, akademisi menekankan perlunya kerja sama regional ASEAN+3 untuk mempercepat transisi hijau di tengah fragmentasi geopolitik yang menghambat dekarbonisasi.
Akademisi juga menyoroti bukti empiris dampak cuaca terhadap pertumbuhan, sektor kunci dan inflasi, sembari menegaskan bahwa respons moneter harus membedakan guncangan sementara dan persisten, serta pentingnya ruang fiskal dan perlindungan asuransi untuk meredam risiko.
Di bidang digitalisasi, diskusi menyoroti transformasi bank sentral di era digital, termasuk risiko dan peluang stable coin bagi transmisi moneter, desain dan prinsip central bank digital currency (CBDC), penguatan kehati-hatian serta inklusi, hingga urgensi koordinasi fiskal-moneter dan standar lintas negara.
Diskusi ini menjadi ruang bagi akademisi dan pembuat kebijakan untuk merumuskan rekomendasi yang bermanfaat, sehingga memberi kontribusi nyata bagi pembangunan ekonomi nasional dan memperkuat peran Indonesia dalam menghadapi tantangan global.
Sebagai informasi, BMEB merupakan wahana diseminasi riset mutakhir, ruang dialog ilmiah lintas negara, serta penguatan perumusan kebijakan berbasis bukti, khususnya bagi negara berkembang.
Konferensi BMEB tahun ini mengangkat tema “Geopolitics, Climate Risks, and Digitalisation: The Future of Central Banking".
Pada call for paper tahun ini, panitia menerima 320 naskah lengkap yang terdiri atas 172 naskah dari Indonesia dan 148 naskah dari negara lain.
Setelah melalui proses peer review yang ketat, terpilih 34 hasil riset dari 12 negara yaitu Indonesia, Australia, Tiongkok, Prancis, India, Italia, Malaysia, Filipina, Republik Korea, Taiwan, Uni Emirat Arab dan Inggris.
Melalui forum ini, Indonesia menegaskan komitmen untuk memperkuat riset ekonomi dan menghadirkan solusi nyata bagi tantangan global.
Baca juga: Rupiah Rp16.775 per dolar AS, BI kerahkan seluruh instrumen stabilisasi
Baca juga: BI: Burden sharing kali ini beda dengan era COVID, bakal ganti istilah
Baca juga: BI: Pemberian special rate jadi kendala penurunan suku bunga perbankan
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.