Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjelaskan terkait kepastian dan kelangsungan investasi sektor hilir migas, khususnya bagi SPBU swasta, di tengah isu kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi.
Wakil Menteri (Wamen) Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, mengatakan kementeriannya telah menerima surat dari sejumlah pelaku usaha swasta yang menyampaikan kekhawatiran terkait pasokan dan regulasi kuota impor BBM.
Pemerintah, kata dia, bakal hadir untuk memastikan kepastian hukum dan keberlanjutan investasi mereka tetap terjamin.
“Jadi inti semangat prinsipnya adalah kita negara harus hadir dalam konteks terhadap mengelola isu kepastian investasi di negara kita. Isu mengenai kondusivitas investasi di negara kita,” ujar Todotua di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (7/10).
Ia menyebut, BKPM telah berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) serta pelaku usaha SPBU swasta. Dalam forum tersebut, menurutnya, telah dibahas langkah antara badan usaha swasta dan Pertamina untuk menjaga pasokan hingga akhir tahun.
"Bahwa ini juga dalam perjalanannya atas masukan yang diberikan sudah mulai ada kolaborasi bilateral korporasi antara teman-teman pelaku usaha non-Pertamina dengan Pertamina dalam rangka menutup kondisional sampai dengan akhir tahun ini,” jelasnya.
Todotua mengakui peningkatan permintaan BBM non-subsidi di masyarakat menyebabkan lonjakan konsumsi di SPBU swasta. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebutuhan impor bahan bakar, yang selama ini diatur kuotanya oleh pemerintah.
“Di 2025 ini kan karena adanya pergerakan atau shifting demand consume daripada masyarakat yang selama ini menggunakan yang subsidi kepada non-subsidi sehingga ini berimpact terhadap bertambahnya volume daripada kuota penjualan daripada teman-teman SPBU pihak swasta,” katanya.
Menurut Todotua, dalam konteks investasi, pemerintah mengeklaim tak hanya berfokus pada penanaman modal baru, tetapi juga pada keberlanjutan investasi yang sudah ada. Ia menilai, keberadaan investasi eksisting memberikan dampak besar terhadap ekosistem ekonomi, baik dari sisi penyerapan tenaga kerja maupun tumbuhnya industri pendukung seperti UMKM dan vendor.
“Kami kementerian investasi tidak masuk dalam ranah teknis kebijakan, tetapi kami masuk dalam konteks bagaimana bisa juga memberikan kepastian bagi para pelaku usaha swasta baik itu PMA maupun PMDN di negara kita. Negara wajib memberikan kepastian investasi baik terhadap pelayanan perizinan, regulasi, maupun kebijakan,” ujarnya.
Isu kelangkaan BBM di SPBU swasta mencuat dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah SPBU swasta seperti Shell, BP-AKR, Vivo, dan ExxonMobil menghadapi potensi kehabisan stok BBM non-subsidi akibat terbatasnya kuota impor dan keterlambatan distribusi bahan bakar.
Shell diproyeksikan mulai kehabisan stok sejak awal Oktober, diikuti BP-AKR pada akhir Oktober, Vivo diproyeksi bakal kehabisan stok BBM pada pertengahan Oktober, sementara ExxonMobil diperkirakan menghadapi kekosongan pasokan pada November 2025.
Sementara itu, negosiasi penyaluran BBM antara Pertamina Patra Niaga dan pelaku usaha SPBU swasta yaitu BP-AKR dan Vivo menghadapi hambatan, utamanya terkait kandungan etanol 3,5 persen yang dinilai terlampau tinggi oleh pihak swasta.