Di tengah hijaunya persawahan Muncar, berdiri sebuah bendungan tua yang mungkin tak mencuri perhatian bagi orang luar. Namun bagi warga Blambangan, Bendungan Singir adalah bagian dari hidup mereka ruang yang menyimpan luka masa lalu, tetapi juga harapan masa kini. Di sinilah sejarah tidak hanya ditulis, tetapi benar-benar dirasakan oleh generasi demi generasi.
Bendungan ini dibangun sekitar tahun 1927, pada masa ketika pemerintah kolonial Belanda memaksa masyarakat desa bekerja tanpa upah. Cerita turun-temurun menyebutkan ratusan warga ikut menjadi korban dalam pembangunan ini. Sebelum banjir 2002 menghapus sebagian jejaknya, sebuah monumen kecil bahkan menuliskan nama mereka seolah menjadi pengingat bahwa pembangunan bendungan ini dibayar dengan keringat dan nyawa.
Ironisnya, bangunan yang lahir dari penderitaan justru menjadi penyelamat warga sampai saat ini. Air dari Bendungan Singir menghidupi ribuan petani di Muncar. Alirannya menentukan musim tanam, sementara posisinya yang strategis mencegah banjir yang dulu sering merendam desa-desa di hilir. Bagi petani, bendungan ini bukan sekadar infrastruktur; ia adalah “napas” bagi sawah-sawah yang menjadi sumber penghidupan.
Selain fungsi ekonominya, bendungan ini juga memegang peran penting dalam kehidupan budaya. Warga masih rutin menggelar ritual Sepai Bendungan, sebuah tradisi membersihkan bendungan yang dilakukan bersama sebagai bentuk syukur. Pada malam 1 Suro, bendungan berubah menjadi ruang spiritual saat warga berkumpul untuk upacara bersih desa. Tradisi ini menegaskan bahwa Bendungan Singir bukan hanya bangunan mati, tetapi ruang hidup tempat hubungan manusia, alam, dan keyakinan bertemu.
Namun, Singir tidak lepas dari sisi lain yang lebih gelap. Banyak warga bercerita tentang penampakan noni Belanda, suara tangis di malam hari, atau legenda tumbal manusia yang diyakini terjadi saat pembangunan dulu. Kisah-kisah ini entah benar atau tidak menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari imajinasi kolektif masyarakat. Justru cerita-cerita inilah yang menjaga bendungan tetap “hidup” di mata generasi muda.
Beberapa tahun lalu, kelompok pemuda Minak Jinggo mencoba mengubah Bendungan Singir menjadi ruang wisata edukasi. Upaya ini sempat berjalan baik, namun berhenti karena kurangnya dukungan dari pemerintah. Meski begitu, semangat warga untuk menjaga bendungan tetap menyala. Mereka berharap Bendungan Singir bisa ditetapkan sebagai cagar budaya agar nilainya tidak hilang dimakan waktu.
Bendungan Singir bukan sekadar peninggalan masa kolonial. Ia adalah tempat di mana sejarah, budaya, dan harapan masyarakat Blambangan bertemu. Merawat bendungan ini berarti menjaga memori bersama tentang penderitaan yang pernah ada, tentang kehidupan yang terus berjalan, dan tentang masa depan yang ingin dibangun lebih baik dari masa lalu.

3 hours ago
1

,x_140,y_26/01kax7hxp9gssg76ng2npxjbe4.jpg)
,x_140,y_26/01kax76yr9hjr5fbw2c24n1n5g.jpg)
,x_140,y_26/01kax6rwg34neek8ya75cbpsz1.jpg)



































