Jakarta (ANTARA) - Pelaku bisnis aset kripto, Tokocrypto berharap revisi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) tidak menghambat inovasi di sektor aset digital dan tetap memberi ruang bagi pelaku lokal untuk tumbuh.
Menanggapi pembahasan aturan itu, sejumlah pedagang aset keuangan digital (PAKD) memilih bersikap wait and see sambil menantikan kejelasan sikap pemerintah dan otoritas terkait terhadap arah revisi aturan tersebut.
"Kami memahami bahwa revisi undang-undang ini dimaksudkan untuk memperkuat sektor keuangan nasional, termasuk industri aset digital. Namun, penting bagi semua pihak untuk memastikan agar kebijakan ini tetap mendorong inovasi dan tidak mematikan pelaku lokal yang sudah berkontribusi membangun ekosistem kripto di Indonesia," ujar CEO Tokocrypto Calvin Kizana dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Kendati demikian, Calvin menilai langkah pemerintah memperkuat regulasi perlu disambut secara konstruktif.
Menurutnya, tujuan utama pengaturan bukan untuk membatasi, tetapi menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan berdaya saing.
"Kami percaya regulator akan membuka ruang dialog dengan seluruh pihak. Dengan begitu, revisi ini bisa menghasilkan regulasi yang kuat, adil, dan tidak merugikan siapa pun," tambahnya.
Ia menegaskan bahwa pihaknya tetap mendukung penuh upaya pemerintah menata industri secara berkelanjutan, namun berharap proses penyusunan aturan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar hasilnya seimbang.
Adapun rancangan revisi UU P2SK yang beredar menimbulkan sejumlah pertanyaan dan kekhawatiran di kalangan pelaku industri.
Salah satu sorotan muncul terhadap Pasal 215C Poin 9 yang menyebut bursa kripto wajib memiliki atau mengendalikan sistem perdagangan aset digital, serta Pasal 312A Poin C yang mewajibkan bursa menyelenggarakan perdagangan aset digital paling lambat dua tahun setelah undang-undang diberlakukan.
Jika diterapkan tanpa penyesuaian, aturan tersebut dinilai berpotensi memusatkan seluruh aktivitas perdagangan kripto di bawah kendali bursa dan mengurangi kemandirian PAKD yang selama ini beroperasi secara independen.
Dampaknya bisa signifikan, mulai dari penurunan daya saing, potensi penutupan perusahaan lokal, hingga hilangnya lapangan kerja di sektor aset digital.
Sejumlah interpretasi pun muncul di kalangan pelaku industri dan analis hukum.
Ada yang berpendapat bahwa bursa hanya akan mengatur aset digital yang ditawarkan di Indonesia, namun ada pula yang menilai peran bursa bisa meluas hingga menjadi pengendali utama perdagangan, dengan PAKD sekadar menjadi perantara.
Apabila skenario terakhir yang berlaku, pelaku industri khawatir posisi PAKD akan semakin terpinggirkan. Kondisi tersebut berisiko mendorong pengguna kripto beralih ke platform luar negeri yang lebih longgar, menggerus potensi ekonomi nasional serta penerimaan pajak dari perdagangan kripto lokal.
Sementara itu, riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pada 2024 menunjukkan bahwa aktivitas perdagangan aset kripto di Indonesia telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian.
Dari potensi nilai tambah bruto sekitar Rp260 triliun, baru Rp70,04 triliun yang terealisasi. Artinya, masih ada potensi ekonomi sebesar Rp189,4 triliun atau 72,85 persen yang belum tergarap, sebagian besar diserap oleh platform luar negeri yang tidak teregulasi.
Hingga kini, pembahasan revisi UU P2SK masih berlangsung tertutup dan belum dipublikasikan secara luas.
Industri kripto berharap arah perubahan kebijakan tersebut dapat memperjelas pengawasan tanpa menekan potensi pertumbuhan sektor aset digital yang tengah berkembang pesat di Indonesia.
Baca juga: Indodax: Industri kripto sumber pendapatan fiskal signifikan
Baca juga: Analis nilai Bitcoin tetap menjanjikan meski pelemahan terus terjadi
Baca juga: Pentingnya literasi dan edukasi keuangan digital cegah kerugian
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.








































