Penggunaan istilah 'anarko' oleh Polri untuk menyebut aktor kerusuhan disorot. Hal itu disampaikan sejumlah tokoh saat Dialog Publik dengan Tema 'Penyampaian Pendapat di Muka Umum Hak dan Kewajiban, Tindakan Anarkistis Menjadi Tanggung Jawab Hukum' bersama jajaran Polri, di gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Melawai, Jakarta Selatan, Senin (29/9).
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai penggunaan istilah 'anarko' ini keliru. Menurutnya, istilah anarkistis, anarko, dan anarkisme seakan-akan selalu diidentikkan dengan kerusuhan, penjarahan, hingga pengerusakan.
“Tadi ada beberapa kata di dalam video termasuk juga di dalam pandangan Kapolri dan juga kerangka acuan anarkistis, anarko. Nah ini kalau mau memulai reformasi kita bisa mulai dari koreksi kata ini,” kata Usman.
Ia menjelaskan, dalam ilmu sosial maupun filsafat, anarkisme merupakan sebuah konsep yang percaya bahwa masyarakat bisa hidup tanpa negara, otoritas, atau hierarki. Karena itu, menurutnya, pemaknaan yang keliru justru dapat mendorong pola pemolisian yang otoriter.
“Jadi ini pertama-tama yang harus dihilangkan supaya kita tidak melihat pemolisian yang otoriter. Bentuknya adalah penyitaan buku,” ujarnya.
Pandangan senada juga disampaikan akademisi Rocky Gerung. Ia menyebut istilah anarkisme justru memiliki makna positif.
“Saya hindari istilah anarkisme tadi karena betul Usman. Kata anarkisme itu puncak tertinggi dari demokrasi. Kata anarkis datang dari penggalan kata an dalam bahasa Yunani, dan arko artinya kepala, an artinya tanpa kepala. Demokrasi memang harusnya tanpa kepala karena kesetaraan,” kata Rocky.
Rocky memaparkan lebih lanjut, baik Marxisme maupun Anarkisme sama-sama bermutu dalam mendorong kritik terhadap arogansi kapital maupun kekuasaan. Namun istilah itu kini telah mengalami pejorasi, atau perluasan makna suatu kata yang baik menjadi kurang baik.
“Marxisme adalah kritik terhadap arogansi kapital, anarkisme kritik terhadap arogansi kekuasaan, dua-duanya bermutu untuk menghasilkan demokrasi. Tapi kata itu udah mengalami pejorasi sehingga u anarki, u anarki. Loh itu kata yang bagus,” jelasnya.
Sementara itu, Menko Hukum Yusril Ihza Mahendra. Ia menilai, masih banyak masyarakat yang salah paham soal istilah anarko yang kerap dipakai aparat.
“Memang pemerintah sekarang sedang mendalami tentang apa yang sering diungkapkan oleh pihak kepolisian tapi sangat kurang dipahami oleh masyarakat: istilah anarko,” kata Yusril di kantornya, Jumat (26/9).
Ia menjelaskan, anarko sebenarnya merupakan paham atau ideologi yang berawal dari nihilisme, yang menolak segala bentuk pemerintahan. Paham ini, lanjut Yusril, banyak berkembang melalui media sosial, tak hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai negara.
“Paham seperti itu sekarang dikembangkan melalui media-media elektronik dan pengikut-pengikutnya ada di mana-mana dan itu juga bukan hanya kekhawatiran kita, kekhawatiran banyak negara juga,” ucap Yusril.
“Kita sendiri kan sulit membayangkan di dunia ini tanpa otoritas, otoritas yang sah tapi kalau semuanya anarko, anarkis, semuanya ini jadi berantakan begitu," sambungnya.