Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menyita lahan sawit yang dianggap ilegal dan masuk kawasan hutan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penunjukan kawasan hutan kembali menjadi sorotan setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menegaskan, dasar hukum penetapan kawasan hutan tidak lagi dapat bertumpu pada SK Penunjukan. Pernyataan itu muncul menyusul ralat (renvoi) Mahkamah Konstitusi terhadap Putusan MK No. 147/PUU-XXII/2024, yang mengonfirmasi penunjukan kawasan hutan tidak menimbulkan akibat hukum.
Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam), Muhamad Zainal Arifin menyampaikan, negara tidak boleh lagi menggunakan penunjukan administratif sebagai dasar klaim kawasan hutan. Termasuk, sambung dia, dalam kebijakan penertiban dan penguasaan kembali lahan.
"Jika negara ingin melakukan penertiban ataupun penguasaan kembali kawasan hutan, maka harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa areal tersebut telah ditata batas dan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Itu merupakan bentuk penegakan rule of law," kata Zainal dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (24/11/2025).
Dengan adanya renvoi putusan MK dan putusan MKMK, dasar penguasaan kembali yang dipakai Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), yaitu SK penunjukan kawasan hutan tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. Yang mengikat, kata Zainul, hanya kawasan hutan yang sudah ditata batas dan ditetapkan.
"Dengan demikian, penyitaan 3,4 juta hektare yang hanya didasarkan penunjukan kawasan hutan cacat hukum karena objeknya belum dibuktikan sebagai kawasan hutan yang sah," kata Zainul.

4 hours ago
3







































