Pernahkah kita bertanya mengapa anak-anak dari keluarga tertentu tampak lebih mudah meraih prestasi akademik? Bukan soal kecerdasan semata, tetapi ada "harta karun tak terlihat" yang diwariskan orang tua kepada anak-anaknya. Harta ini bernama modal sosial, yakni sebuah jaringan relasi, pengetahuan, dan akses yang tidak bisa dibeli dengan uang, namun dampaknya jauh melampaui tabungan di bank.
Modal sosial orang tua mencakup tingkat pendidikan, jaringan pergaulan, pemahaman tentang sistem pendidikan, hingga kemampuan berkomunikasi dengan pihak pendidikan tersendiri. Seorang ibu lulusan universitas tentu memiliki pemahaman berbeda tentang pentingnya pendidikan dibanding ibu yang hanya tamat sekolah dasar.
Sedangkan ayah yang berprofesi sebagai dosen atau pendidik memiliki akses informasi beasiswa dan program unggulan yang mungkin tidak diketahui ayah buruh pabrik. Lantas, apakah ini berarti kesuksesan akademik anak sudah ditentukan sejak mereka dilahirkan?
Jaringan Pertemanan yang Membuka Pintu Peluang
Modal sosial tidak melulu soal pendidikan formal orang tua, tetapi juga jaringan pertemanan dan relasi sosial ternyata menjadi kunci tersembunyi bagi kesuksesan anak-anaknya. Orang tua yang aktif dalam komunitas, organisasi profesi, atau kegiatan sosial memiliki akses informasi lebih luas tentang sekolah berkualitas, guru les terbaik, hingga program ekstrakurikuler yang menunjang prestasi anak.
Bayangkan dua anak dengan tingkat kecerdasan yang sama, misalnya anak pertama memiliki orang tua yang berteman dengan kepala sekolah, pengurus yayasan pendidikan, dan sesama orang tua siswa berprestasi. Sedangkan, anak kedua memiliki orang tua yang bekerja dari pagi hingga malam, tanpa waktu untuk bersosialisasi.
Siapa yang lebih berpeluang mendapat informasi tentang kompetisi sains tingkat nasional atau program pertukaran pelajar? Bukankah ini menunjukkan bahwa kesempatan tidak selalu datang kepada yang cerdas, tetapi kepada yang "terhubung"?.
Bahasa Kelas Menengah di Ruang Kelas
Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis, menyebutkan bahwa sistem pendidikan sebenarnya lebih menguntungkan anak-anak dari kelas menengah ke atas. Bukan karena mereka lebih pintar, melainkan karena "bahasa" yang digunakan di sekolah adalah bahasa kelas menengah. Cara berbicara, pola pikir, referensi budaya, hingga etika yang diajarkan di kelas seringkali sejalan dengan apa yang sudah dipelajari anak-anak ini di rumah.
Anak dari keluarga berpendidikan tinggi sudah terbiasa dengan diskusi, membaca buku, dan mengemukakan pendapat sejak kecil. Mereka tidak canggung saat guru meminta presentasi di depan kelas atau menganalisis teks sastra. Sementara anak dari keluarga dengan modal sosial terbatas mungkin merasa asing dengan cara belajar seperti ini.
Mereka harus bekerja dua kali lebih keras dan tidak hanya mempelajari materi pelajaran, tetapi juga menyesuaikan diri dengan "budaya sekolah" yang terasa asing. Adilkah sistem pendidikan yang mengeklaim memberikan kesempatan sama bagi semua, padahal sejak awal sudah memihak kepada kelompok tertentu?
Keterlibatan Orang tua: Hak Istimewa atau Kewajiban?
Modal sosial juga terlihat dari tingkat keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak. Orang tua dengan pendidikan dan waktu luang cukup bisa hadir dalam pertemuan sekolah, membantu pekerjaan rumah, bahkan menjadi pengurus komite sekolah.
Keterlibatan ini menciptakan lingkaran komunikasi yang baik antara orang tua, anak, dan guru. Namun bagaimana dengan orang tua yang bekerja shift malam, tidak memahami kurikulum baru, atau merasa minder berbicara dengan guru karena keterbatasan pendidikan mereka? Anak-anak mereka pun kehilangan advokat penting dalam perjalanan akademiknya.
Ketika ada masalah di sekolah, tidak ada yang memperjuangkan, ketika ada peluang beasiswa, tidak ada yang mendorong. Bisakah kita menyalahkan anak-anak ini jika prestasi mereka tertinggal, padahal mereka tidak pernah mendapat dukungan yang sama?