Pernahkah kita terjaga di tengah heningnya malam. Pikiran sibuk berlari ke sana kemari—tentang pekerjaan yang tak kunjung selesai, rencana yang tak sesuai harapan, janji yang tak terpenuhi, hingga bayangan masa depan yang semakin kabur. Rasanya seperti terjebak dalam labirin tanpa pintu keluar.
“Mengapa hidupku begini? Mengapa aku harus melewati semua ini?”. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul berulang, membuat dada sesak. Sementara notifikasi di ponsel tetap sunyi, seakan dunia sedang berpaling. Pada saat itulah, kita menyadari betapa mudahnya manusia tenggelam dalam cemas, dilema, dan overthinking.
Memang hidup kerap memberi kita teka-teki. Seringkali, yang datang tidak sesuai dengan apa yang kita minta. Kita berdoa untuk kelapangan, tetapi yang tiba justru ujian. Kita mengharapkan jalan lurus, tetapi langkah justru dipaksa berputar. Di sanalah kita sering kecewa, seolah takdir sedang bermain-main.
Kehilangan yang Menjadi Awal Baru
Sebut saja namanya Andri. Ia bekerja hampir lima tahun di sebuah perusahaan, hingga satu hari pengumuman PHK massal membuat hidupnya runtuh. Bulan-bulan berikutnya terasa berat, penuh penolakan saat melamar kerja. Namun di tengah rasa terpojok itu, ia mulai menekuni hobi lamanya: membuat desain grafis. Dari proyek kecil untuk teman, usahanya berkembang menjadi studio desain yang kini justru memberi lapangan kerja bagi orang lain.
Andri pernah mengira kehilangan pekerjaannya adalah akhir dunia, tetapi ternyata itu pintu menuju jalannya yang sejati.
Patah Hati yang Menjadi Guru Kehidupan
Shinta pernah berkeyakinan bahwa ia telah menemukan pasangan hidupnya. Hubungan itu dijalani penuh harapan, hingga akhirnya kandas menjelang pernikahan. Dunia rasanya runtuh. Ia sempat menutup diri bertahun-tahun.
Namun siapa sangka, kegagalan itu justru membuatnya lebih mengenal dirinya sendiri, lebih selektif, dan lebih matang. Kini ia hidup damai bersama pasangan yang benar-benar memahami dan mendukungnya. Ia baru sadar: yang dulu ia anggap jodoh hanyalah pelajaran, bukan tujuan.
Sakit yang Mengajarkan Syukur
Seorang teman pernah divonis sakit serius. Pada awalnya ia marah, takut, dan menolak kenyataan. Namun di ruang-ruang rumah sakit itulah ia belajar arti waktu, arti syukur, dan arti sederhana dari kesehatan.
Penyakit itu memang berat, tetapi justru melalui sakit ia menemukan iman yang lebih dalam dan keluarga yang lebih hangat. Apa yang tampak sebagai musibah ternyata menjadi jalan pulang yang penuh cahaya.
Dari berbagai kisah di atas, kita diingatkan bahwa apa yang tampak buruk tidak selalu berakhir buruk. Ada makna yang tersembunyi di baliknya. Hidup ini bukan sekadar perhitungan untung dan rugi; ia adalah proses belajar yang perlahan-lahan membentuk kita.
Luka hari ini bisa menjadi kekuatan esok, dan penantian panjang bisa jadi cara semesta mengajarkan kesabaran. Kita hanya perlu meyakini bahwa tidak ada peristiwa yang sia-sia. Semua hal yang sedang berjalan, meski tak selalu sesuai keinginan, sedang membawa kita menuju kebaikan yang mungkin belum terlihat.
Padahal, boleh jadi yang tampak sebagai kesulitan sesungguhnya adalah benteng perlindungan. Boleh jadi yang terasa sebagai kehilangan sesungguhnya sedang memberi ruang untuk hal yang lebih pantas. Bahkan di balik riuh batin yang melelahkan, ada suara kecil yang ingin sekali didengar: bahwa semua hal yang sedang berjalan ini, betapapun rumit dan membingungkan, sejatinya sedang ditenun untuk kebaikan kita.
Pola-pola ini jarang terlihat saat kita berada di dalamnya. Namun kelak, ketika waktu sudah cukup jauh berjalan, kita akan berkata:
Seakan ingin meneguhkan langkah, Allah telah lebih dulu menuliskan jawaban dalam kalam-Nya, tentang rahasia di balik setiap kejadian:
Begitu pula sebagaimana yang dinisbatkan kepada Imam Al-Ghazali: