Masalah Sampah Berawal dari Ketidakadilan

1 week ago 8
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Tumpukan sampah di depo Jl Brigjen Katamso, Kota Yogya, pada Selasa. Dok Istimewa (Unggahan Pandangan Jogja)

Kita terbiasa melihatnya. Gunung-gunung baru yang lahir bukan dari aktivitas tektonik, melainkan dari kerakusan dan kelalaian kita, menjulang busuk di Bantar Gebang, di Suwung, di Piyungan.

Lautan kita, yang dulu jadi sumber kidung dan puisi, kini menjadi sup plastik raksasa yang mencekik biota. Lalu, dengan serempak, telunjuk kita mengarah ke satu target empuk: “masyarakat”. Katanya, kita pemalas. Katanya, kita tidak punya kesadaran.

Selama puluhan tahun, narasi ini dijejalkan ke tenggorokan kita. Kita adalah terdakwa utama dalam drama ekologis yang kita ciptakan sendiri.

Izinkan saya mengatakan ini dengan lantang: narasi itu adalah kebohongan besar. Sebuah pengalihan isu yang nyaman untuk menutupi borok yang sesungguhnya. Akar masalah sampah di negeri ini bukanlah kemalasan warganya. Akarnya adalah ketidakadilan yang dipelihara oleh negara.

Negara Hadir untuk Listrik, Absen untuk Sampah

Ilustrasi sampah plastik di sungai. Foto: Eloisa Lopez/REUTERS

Mari kita bicara angka, agar tidak dituduh sekadar berteriak. Rasio elektrifikasi Indonesia sudah gagah perkasa mendekati 100%. Negara, dengan segala kekuatannya, berhasil menarik kabel, mendirikan tiang, dan menerangi rumah-rumah di puncak gunung hingga pesisir terpencil. Sebuah pencapaian yang patut kita apresiasi.

Sekarang, mari kita lihat angka satunya lagi: rasio pelayanan sampah nasional. Angka ini, dengan memalukan, mandek di kisaran 39–40%. Tidak bergeser signifikan selama bertahun-tahun.

Cerna ini perlahan: negara sanggup mengantarkan elektron ke hampir 280 juta jiwa, tetapi gagal mengangkut sisa makanan dan plastik dari 60% warganya.

Bagaimana mungkin kita menuntut seorang ibu di dusun terpencil untuk memilah sampah organiknya, jika truk sampah bahkan tidak pernah menyentuh jalan desanya? Bagaimana kita bisa menyalahkan seorang pedagang di pasar kumuh yang membuang sampahnya ke sungai, jika tidak pernah ada satu pun tempat sampah atau layanan pengangkutan yang disediakan untuknya?

Kita menyalahkan korban. Kita menghakimi mereka yang tidak punya pilihan. Ini bukan lagi soal teknis pengelolaan sampah. Ini adalah soal keadilan sosial yang terang-terangan diinjak-injak.

Bukan masyarakat yang lalai. Negara yang abai.

WTE: Ilusi Megah di Tengah Ketimpangan

Sejumlah pemulung mencari barang bekas di tumpukan sampah kawasan TPST Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (29/10). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Pemerintah kini datang dengan solusi berkilauan: Waste to Energy (WTE). Proyek raksasa seperti Danantara digadang-gadang akan mengubah sampah menjadi listrik. Investasi triliunan rupiah digelontorkan. Para pejabat bertepuk tangan, merasa telah menemukan peluru perak untuk monster sampah.

Jangan salah, saya tidak anti-teknologi. Namun, WTE dalam konteks ketidakadilan saat ini adalah seperti membangun penthouse mewah di atas fondasi gubuk yang reyot.

WTE hanya akan melayani kota-kota besar yang mampu menyetor ribuan ton sampah setiap hari. Proyek ini akan menyedot anggaran dan perhatian, sementara 60% wilayah Indonesia yang lain tetap dibiarkan menjadi yatim piatu peradaban sampah. Desa-desa akan terus membakar plastiknya di pekarangan, dan sungai-sungai di pelosok akan tetap menjadi tempat sampah terpanjang di dunia.

Pemerintah pusat terobsesi dengan proyek mercusuar, solusi instan yang fotogenik. Mereka lupa bahwa pekerjaan paling fundamental—dan paling tidak seksi—adalah memperluas jangkauan pelayanan sampah hingga ke gang-gang sempit dan dusun-dusun terpencil. Pemerintah daerah pun latah, berlomba-lomba mengajukan proposal WTE tanpa pernah serius bertanya: sudahkah seluruh wargaku terlayani?

Menggugat Kewarasan, Menuntut Keadilan
Read Entire Article