Jakarta (ANTARA) - Strategic Planning & Risk Management Group Head PT Reasuransi MAIPARK Indonesia Ruben Damanik menyatakan terdapat kurang dari 0,1 persen rumah tinggal di Indonesia yang diasuransikan sebagai upaya proteksi terhadap dampak bencana.
Menurut data yang dihimpun pihaknya, ia menuturkan hanya 36 ribu rumah dari total 64 juta rumah di Indonesia yang diasuransikan pada 2023.
“Nilai ini menggambarkan bagaimana penetrasi pelindungan akibat gempa melalui mitigasi asuransi itu masih rendah,” kata Ruben Damanik dalam webinar Media Workshop Allianz Indonesia yang diikuti di Jakarta, Kamis.
Ruben mengatakan rendahnya inklusi asuransi tersebut menimbulkan kesenjangan besar antara total kerugian ekonomi akibat bencana dengan nilai kerugian yang dijamin asuransi, tidak hanya terkait kerusakan properti, tapi juga dampak kerusakan lainnya.
Ia mencontohkan, saat terjadi gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, kerugian ekonomi mencapai Rp41,4 triliun, sementara nilai kerugian yang diasuransikan hanya Rp650 miliar. Dengan demikian, rasio aset yang dilindungi asuransi hanya sekitar 1,6 persen.
Bahkan hampir 20 tahun kemudian, tren serupa juga masih terjadi. Terdapat sekitar 530 ribu rumah yang rusak akibat gempa di Cianjur, Jawa Barat, pada 21 November 2022, tapi hanya seribu unit yang tercatat memiliki asuransi.
Bencana tersebut juga memiliki rasio perlindungan asuransi yang rendah, yakni sekitar 1,2 persen, dengan total kerugian senilai Rp4 triliun dan nilai kerugian yang diasuransikan hanya Rp50 miliar.
Ruben menyatakan kondisi tersebut menunjukkan masih rendahnya literasi dan kesadaran masyarakat terkait mitigasi risiko bencana melalui asuransi.
Padahal, mengacu pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah rawan bencana, mulai dari banjir, cuaca ekstrem, hingga gempa bumi yang memiliki frekuensi tinggi.
Ia pun mendorong perlunya pendekatan mitigasi risiko yang terukur melalui kesiapan masyarakat agar kerugian akibat bencana dapat diminimalkan.
“Mitigasi harus disesuaikan dengan jenis bencananya. Untuk banjir, bisa dengan membangun bendungan atau meninggikan rumah. Namun untuk gempa, solusinya lain, seperti memperkuat struktur bangunan, memahami zona rawan, hingga melakukan simulasi evakuasi. Dan tentu, asuransi menjadi instrumen penting untuk membantu pemulihan pascabencana,” jelasnya.
Baca juga: Asuransi parametrik bencana didesain agar dapat cair dalam 7-14 hari
Baca juga: Perusahaan asuransi-OJK targetkan produk parametrik terealisasi 2026
Baca juga: OJK sebut asuransi parametrik bencana alam dapat percepat proses klaim
Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.