Lampung Geh, Bandar Lampung-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menilai negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah sekolah di Lampung.
Kepala Divisi Advokasi, Prabowo Pamungkas mengatakan, tanggung jawab hukum melekat pada negara karena program MBG merupakan kebijakan publik yang menggunakan anggaran negara.
“Negara wajib menjamin hak atas kesehatan dan pendidikan sesuai UUD 1945, UU HAM, dan UU Kesehatan. Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan serta kelalaian penyedia dapur dan pelaksana teknis MBG yang menyebabkan keracunan massal,”ujarnya.
Prabowo juga menilai ironis ketika program yang menghabiskan anggaran ratusan triliun justru tidak tepat sasaran.
“Sebagian besar penerima justru di wilayah perkotaan, bukan daerah dengan gizi buruk. Padahal 60% sekolah dasar masih rusak, jutaan guru belum tersertifikasi, dan putusan MK soal pendidikan gratis belum dijalankan,” jelasnya.
Menurut LBH kasus keracunan MBG merupakan bentuk kelalaian serius yang dapat dijerat secara hukum.
“Pasal 360 KUHP jelas bisa digunakan karena ada unsur kelalaian hingga membuat orang sakit. Selain itu, UU Kesehatan dan UU Pangan mewajibkan penyedia menjamin keamanan makanan,” jelasnya.
Prabowo melihat bahwa banyak menu MBG justru berupa makanan ultra proses yang berpotensi memicu penyakit.
“Data Data Jaringan Pantauan Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sudah lebih dari 6.452 siswa menjadi korban. Negara tidak boleh lepas tangan, korban berhak atas pemulihan kesehatan dan kompensasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, LBH mengatakan pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan MBG di Lampung sangat lemah.
“Fokus pemerintah hanya pada jumlah penerima, bukan kualitas makanan. BPOM pun hampir tidak terlihat dalam pengawasan. Bahkan keterlibatan TNI dan Polri di dapur, dalam distribusi, dan pengamanan sekolah merupakan penyimpangan fungsi,”ujarnya.
Menurut prabowo, pendekatan militeristik dalam program sosial ini bertentangan dengan prinsip Konvensi Hak Anak.
“Lingkungan sekolah seharusnya aman tanpa intimidasi, apalagi dari aparat bersenjata,” tambahnya.
Terkait wacana pembatasan kuota dapur seperti yang disarankan Wakil Gubernur Lampung, LBH menilai langkah itu belum menyentuh akar masalah.
“Masalah utama bukan pada kuota dapur, tetapi minimnya transparansi dan potensi konflik kepentingan. Banyak dapur MBG diduga dimiliki oleh perusahaan yang terhubung langsung dengan yayasan milik pejabat tinggi negara, bahkan sempat dipertanyakan KPK terkait transparansi pemilihan mitra dapur dan dugaan ribuan dapur fiktif," jelasnya.
Sebagai evaluasi, LBH merekomendasikan agar pemerintah menghentikan sementara program MBG sampai ada audit menyeluruh terhadap standar keamanan pangan dan mekanisme distribusi.
“Kami juga mendorong pembentukan tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil, pakar gizi, lembaga HAM, dan aparat penegak hukum,”tuturnya.