Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengomentari persoalan proyek pembangunan jalan dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yang tersangkut kasus korupsi. Menurut Tanak, ada beberapa hal yang menghambat, mulai dari keputusan inkrah pengadilan hingga ketersediaan anggaran pemerintah daerah.
"Kalau proyek bisa dilanjutkan atau tidak, tergantung pemerintah daerah, dia punya anggaran tidak," kata Tanak saat ditemui di Kantor DPRD Sumut, Medan, Selasa (30/9).
Johanis mengatakan, proyek jalan di Sumut akan dilakukan pemberhentian sementara setelah ada keputusan inkrah dan tinjauan dari pemda.
"Tidak dilanjutkan, memang untuk sementara di cut dulu. Nanti setelah ada putusan inkrah, kemudian DPR bersama Pemerintah Daerah melihat bagaimana masalah proyek ini, apakah dilanjutkan atau tidak," jelas Johanis.
Untuk keputusan kelanjutan dari proyek jalan di Sumut tersebut, Johanis menyebut bahwa tergantung dari anggaran DPRD dan tidak perlu persetujuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kalau punya anggaran, dia harus ada prosedur DPR dulu. Tidak perlu (persetujuan KPK)," pungkasnya.
Korupsi Proyek Jalan di Sumut
Kasus ini terungkap usai KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di Mandailing Natal, Sumut, pada Kamis (26/6) lalu. OTT ini terkait dengan dua perkara berbeda.
Pertama, terkait proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatra Utara. Kedua, terkait proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumatra Utara. Nilai kedua proyek itu sebesar Rp 231,8 miliar.
Dalam perkara ini, KPK telah menjerat lima orang sebagai tersangka, yang terdiri dari tiga orang sebagai tersangka penerima suap dan dua orang tersangka pemberi suap.
Untuk tersangka penerima suap yakni:
Diduga kasus korupsi ini terjadi dengan Akhirun dan Rayhan selaku pihak swasta berharap mendapatkan proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR dan Satker PJN Wilayah 1 Sumut dengan memberikan sejumlah uang sebagai uang suap kepada Topan, Rasuli, dan Heliyanto.
Topan, Rasuli, dan Heliyanto kemudian
diduga melakukan proses pengaturan lewat e-katalog agar perusahaan yang dipimpin oleh Akhirun dan Rayhan ditunjuk sebagai pemenang lelang proyek.
Dalam kegiatan OTT ini, KPK mengamankan sebanyak enam orang serta uang tunai sebesar Rp 231 juta yang merupakan bagian dari uang Rp 2 miliar yang diduga akan dibagi-bagikan oleh Akhirun dan Rayhan.
Atas perbuatannya, Topan, Rasuli, dan Heliyanto dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Akhirun dan Rayhan disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.