Dalam tradisi Jawa, weton bukan hanya menyoal hitungan hari kelahiran, melainkan simbol keseimbangan kosmos yang menuntun manusia memahami posisi dirinya dalam jagad raya. Weton adalah sistem kalender yang menyatukan dua siklus waktu — mingguan (Senin hingga Minggu) dan pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) yang menghasilkan 35 kombinasi yang dipercaya merefleksikan karakter dan takdir seseorang. Di antara semua kombinasi itu, Jum’at Legi sering dianggap memiliki makna paling sakral.
Namun, di luar konteks spiritual individual, weton Jum’at Legi dapat pula dibaca sebagai metafora geopolitik Indonesia—sebuah panduan kosmologis yang mencerminkan watak bangsa maritim, religius, dan humanis yang berakar kuat di bumi namun berpandangan luas ke dunia. Tulisan ini mencoba menafsirkan “Jum’at Legi” sebagai kompas geopolitik Nusantara, dengan memadukan simbolisme kosmologi Jawa dan prinsip realpolitik Sukarno dalam membangun posisi Indonesia di antara dua kutub global.
Jum’at: Hari Keberkahan dan Diplomasi Kemanusiaan
Dalam Islam, hari Jum’at adalah “sayyidul ayyam” — rajanya hari. Ia menjadi waktu pertemuan manusia dengan Tuhan secara kolektif melalui shalat Jum’at, dan melambangkan kesadaran sosial dan spiritual yang berpadu. Dalam konteks geopolitik, makna ini bisa ditarik menjadi prinsip dasar Indonesia dalam berinteraksi dengan dunia: politik luar negeri yang berakar pada etika kemanusiaan dan spiritualitas.
Bung Karno pernah menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia harus berasaskan “politik luar negeri yang bebas dan aktif”, yang berarti tidak tunduk pada blok manapun, tetapi aktif memperjuangkan keadilan dunia. Semangat itu sesungguhnya paralel dengan makna hari Jum’at sebagai hari kesetaraan, solidaritas, dan pembaruan ruhani.
Jika kita memetakan posisi Indonesia dalam percaturan global, maka “Jum’at” dapat diibaratkan sebagai energi kosmis diplomasi perdamaian — diplomasi yang tidak agresif tetapi berwibawa, yang mencari titik temu di tengah perbedaan. Di sinilah politik luar negeri Indonesia menemukan jati dirinya: spiritual-humanistik, bukan hegemonik.
Dengan demikian, “Jum’at” dalam weton Jum’at Legi bisa ditafsirkan sebagai simbol geopolitik etis, yakni kemampuan Indonesia menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan moralitas. Dalam konteks kontemporer, ini terlihat dari peran Indonesia dalam isu-isu global seperti Palestina, Myanmar, perubahan iklim, dan keamanan maritim Indo-Pasifik — isu yang ditangani dengan semangat kemanusiaan, bukan kalkulasi semata.
Legi: Kelembutan yang Mengikat Dunia
Dalam siklus pasaran Jawa, Legi identik dengan energi manis, halus, dan damai. Warna simboliknya adalah putih kekuningan — lambang kesucian dan harmoni. Legi melambangkan kekuatan diplomasi yang bersandar pada rasa, bukan sekadar nalar.
Apabila “Jum’at” adalah simbol spiritualitas dan tanggung jawab sosial, maka “Legi” adalah jiwa budaya dan rasa Nusantara yang menjadi modal lunak (soft power) Indonesia. Kombinasi keduanya menghasilkan karakter politik luar negeri yang khas: berdaulat namun empatik, kuat namun lembut.
Indonesia sering dipandang dunia sebagai “jembatan peradaban” antara Timur dan Barat, Islam dan demokrasi, globalisasi dan kearifan lokal. Watak Legi ini terlihat nyata dalam cara Indonesia mengedepankan musyawarah, gotong royong, dan dialog di forum internasional — dari Konferensi Asia-Afrika 1955, Gerakan Non-Blok, hingga ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang menolak rivalitas militer dan menekankan kerja sama pembangunan.
Dalam bingkai “Legi”, geopolitik bukan soal siapa yang berkuasa, melainkan bagaimana rasa dan harmoni sosial dapat menjadi instrumen politik global. Indonesia memanfaatkan kebudayaan, solidaritas, dan diplomasi publik sebagai cara membangun pengaruh yang tidak memaksa, melainkan mengundang kepercayaan. Itulah hakikat geopolitik rasa — geopolitik yang manis, bukan mengancam.
Weton sebagai Geopolitik Keseimbangan: Dari Kosmologi Jawa ke Strategi Indo-Pasifik
Dalam pandangan Jawa, manusia yang lahir di weton Jum’at Legi sering dipandang memiliki aura peneduh, pemimpin yang menenangkan, dan pembawa keseimbangan. Karakter ini sejajar dengan posisi geografis dan kultural Indonesia sendiri. Terletak di antara dua samudra dan dua benua, Indonesia adalah pusat gravitasi Indo-Pasifik, sekaligus simpul antara dunia Is...

3 weeks ago
12






































