Perempuan dan Sejarah Perang yang Melupakannya

3 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Siluet seorang perempuan yang sedang mengepalkan tangan ke atas. Foto: unsplash.com

Dalam cerita-cerita perang yang disampaikan di sekolah, diberitakan media, atau diabadikan film-film Hollywood, selalu ada sosok pahlawan gagah yang berdiri di garis depan: tentara laki-laki. Mereka yang memegang senjata, mengambil risiko, dan menyelamatkan negara.

Tetapi ada satu tokoh yang jarang sekali mendapat ruang dalam narasi besar ini perempuan. Padahal ketika bom meledak, ketika anak-anak berlari mencari perlindungan, ketika tubuh-tubuh terluka menunggu pertolongan, perempuanlah yang menjadi penopang kehidupan. Namun sayangnya, kontribusi mereka sering hanya dicatat sebagai pelengkap, bukan inti cerita.

Cynthia Enloe, tokoh sentral dalam teori feminisme internasional, sudah lama menggugat narasi tunggal ini. Di bukunya Bananas, Beaches and Bases (1989), ia melontarkan pertanyaan sederhana tapi dalam: “Where are the women in war?” Pertanyaan yang terdengar simpel, tapi memporak-porandakan cara kita melihat perang dan politik global. Enloe menunjukkan bahwa hubungan internasional dibangun dari kacamata maskulinitas keras, agresif, penuh kompetisi, seolah-olah dunia hanya digerakkan oleh laki-laki dan logika perang.

Militerisasi dan Maskulinitas: Dunia yang Didesain untuk Laki-Laki

Dalam budaya politik global, perang selalu diidentikkan dengan maskulinitas. Nilai seperti keberanian, kekuatan fisik, dan pengorbanan dijadikan standar moral tertinggi. Semua itu dilekatkan pada tubuh laki-laki. Mereka adalah pahlawan, pembela negara, simbol kejantanan nasional.

Sementara perempuan? Mereka dijadikan simbol emosional: ibu bangsa, penjaga rumah, perawat korban. Mereka boleh muncul dalam momen seremonial mengantar tentara pergi, menangis di pemakaman, atau menjadi ikon kesedihan tapi bukan aktor yang menentukan arah sejarah.

Ketika strategi disusun di meja militer, suara perempuan tidak diminta. Ketika perdamaian dirumuskan, mereka jarang diberi kursi. Dalam banyak konflik, perempuan sering digambarkan sebagai pihak yang harus dilindungi, bukan pihak yang memiliki kapasitas pengambilan keputusan.

Padahal kenyataannya jauh berbeda.

Perempuan yang Bertahan, Mengatur, dan Memastikan Hidup Terus Berjalan

Dalam situasi perang, perempuan bukan hanya merawat, tetapi mengelola kehidupan dari nol. Mereka mengatur dapur umum, memindahkan keluarga ke daerah aman, menjaga anak-anak tetap tenang, membangun jaringan solidaritas di tengah kehancuran, bahkan menjadi tulang punggung ekonomi ketika para laki-laki pergi ke medan perang.

Namun di banyak wilayah konflik, laporan UN Women (2023) menunjukkan bahwa perempuan di kamp pengungsian jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan komunitas. Mereka dianggap penerima bantuan, bukan pemikir atau perancang solusi. Seolah-olah kemampuan perempuan hanya berhenti pada kerja-kerja perawatan, padahal merekalah yang paling memahami kebutuhan komunitas.

Sosiolog feminis Sylvia Walby menyebut kondisi ini sebagai “reproduksi patriarki modern.” Ini bukan patriarki yang keras dan gamblang, tapi patriarki yang lembut, halus, tapi mengukuhkan ketimpangan secara struktural. Perempuan ditempatkan dalam posisi aman tapi sekaligus disingkirkan dari ruang strategis.

Pendidikan: Ruang yang Lama Dikunci untuk Perempuan

Sebelum perempuan dapat duduk di meja perdamaian, mereka terlebih dahulu harus melawan pengucilan dari dunia pendidikan. Selama ratusan tahun, perempuan dilarang belajar tentang politik, strategi militer, atau diplomasi. Penghalangan ini bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena sistem takut kehilangan monopoli pengetahuan yang memihak laki-laki.

Bell hooks, pemikir feminis terkemuka, mengatakan bahwa pendidikan adalah bentuk feminist resistance senjata perlawanan yang memberikan perempuan ruang untuk berbicara, menulis, dan menentukan narasi sendiri. Ketika perempuan masuk ke dunia ilmu pengetahuan, mereka sedang mengguncang struktur lama yang selama ini mengabaikan mereka.