Rasanya sudah biasa kita mendengar ada guru yang dikriminalisasi, siswa yang tidak lagi menghargai sekolah, peserta didik yang mengalami perundungan, dan kasus-kasus moral lainnya.
Belum lama ini terjadi pula beberapa kasus, sebut saja misalnya kasus di SMAN 1 Cimarga Banten, dimana kepala sekolah menampar siswa karena merokok di sekolah, kemudian tuduhan penggunaan narkoba seorang siswa di SMK Palembang oleh gurunya yang juga viral, dan terkini kasus bunuh diri mahasiswa Universitas Udayana dengan mencuatkan dugaan perundungan dan nir-empati dari beberapa rekannya.
Ada benang merah dari beberapa kejadian ini, yaitu tentang retaknya fondasi moral pendidikan kita. Sebagai akibat dari sebuah kondisi di mana pendidik, orang tua, dan masyarakat - sebagai tiga pilar utama pendidikan - tidak lagi berjalan dalam satu arah.
Pendidikan yang Kehilangan Jiwa
Pendidikan di Indonesia selama ini sering dipahami sebagai urusan institusi pendidikan belaka. Anak diserahkan pagi-pagi, dijemput sore, dan di antara waktu itu, tanggung jawab moral, karakter, serta kedisiplinan dianggap otomatis menjadi tugas pendidik.
Padahal, dalam filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, institusi pendidikan hanyalah “bagian dari taman hidup yang lebih besar”, di mana keluarga, masyarakat, dan negara bersama-sama menumbuhkan budi pekerti anak.
Namun realitasnya kini: guru diminta mendidik tanpa dukungan moral rumah, dan masyarakat sibuk menghakimi tanpa mau memahami.
Ketika Guru Kehilangan Wibawa
Beberapa fenomena di atas memperlihatkan betapa rapuhnya posisi guru di mata sosial. Di satu sisi, mereka dituntut untuk keras, tegas, dan membentuk karakter; di sisi lain, setiap tindakan tegas berisiko viral, dilaporkan, atau disalahpahami.
Akhirnya, banyak guru memilih diam, pasif, dan fokus menyelesaikan administrasi - bukan lagi mendidik jiwa siswa.
Seorang psikolog pendidikan, Dr. Anisa Putri, M.Psi, menyebut kondisi ini sebagai “burnout sosial guru”, kelelahan emosional yang muncul bukan hanya karena beban kerja, tapi karena hilangnya penghargaan moral terhadap profesi guru.
“Guru yang niatnya mendidik sering justru diserang karena salah cara. Sementara guru yang acuh malah aman. Ini menunjukkan lingkungan sosial kita sudah kehilangan keseimbangan nilai,” ujarnya dalam wawancara dengan EduPost.id (2025).
Orang Tua Melepas Tanggung Jawab
Di sisi lain, banyak orang tua kini hadir hanya saat anaknya bermasalah. Padahal, pendidikan karakter tidak bisa dimulai dari sekolah, melainkan dari rumah.
Disiplin, sopan santun, tanggung jawab, dan rasa hormat pada guru adalah “warisan perilaku” yang seharusnya dibentuk di lingkungan keluarga. Namun, ketika anak berbuat salah, sebagian orang tua justru sibuk mencari pembenaran atau pembalasan.
Fenomena ini memperlihatkan pergeseran nilai di masyarakat. Orientasi “mendidik anak menjadi baik” menjadi “melindungi anak dari konsekuensi kesalahannya”. Inilah awal dari krisis moral pendidikan: ketika salah dianggap wajar, dan yang menegakkan aturan justru disalahkan.
Sekolah Tak Lagi Menjadi Ruang Keteladanan
Sekolah hari ini sering kali terjebak dalam rutinitas administratif: laporan, kurikulum, dan proyek.
Dalam suasana seperti ini, nilai-nilai pendidikan yang seharusnya menjadi ruh, seperti kejujuran, hormat, disiplin, dan kasih, perlahan menguap dan sirna.
Kepala sekolah dan guru tidak lagi punya ruang untuk membangun karakter, karena waktu mereka habis untuk memenuhi format laporan dan instruksi birokrasi. Akibatnya, pendidikan berubah menjadi kegiatan teknis, bukan proses mor...

1 month ago
29






































