Di tengah derasnya arus media sosial dan kehidupan digital yang serba cepat, muncul tren baru di kalangan anak muda Indonesia: spritualitas tanpa label agama. Fenomena ini tidak sekadar soal meditasi atau healing, tetapi tentang cara generasi muda mencari makna hidup di luar batas-batas ritual formal.
Dari Tempat Ibadah ke Meditasi dan Jurnal Rasa
Generasi muda kini menemukan bentuk spritualitas yang lebih cair dan personal. Bagi mereka menulis jurnal syukur setiap pagi, menyalakan lilin aromaterapi, atau mengikuti kelas meditasi daring bisa menjadi bentuk "ibadah" baru.
"Sekarang aku lebih percaya pada energi dan keseimbangan," kata Rara (25), desainer grafis asal Padang yang aktif mengikuti kelas mindfulness daring. "Aku masih salat, tapi aku juga meditasi. Aku cuma ingin tenang tanpa merasa dihakimi."
Fenomena ini tidak berarti anak muda meninggalkan agama, melainkan mencoba memaknainya dengan cara baru. Mereka mencari ketenangan batin melalui kesadaran dari (self-awareness), bukan sekadar mengikuti ritual yang diwariskan turun-temurun.
Spritualitas sebagai Gaya Hidup Baru
Di media sosial, tagar seperti #healing, #mindfulness, dan #selflove terus bertambah setiap hari. Akun-akun bertema spritual seperti healing.id, tarotselflove, atau journalingclass memiliki ratusan ribu pengikut. Mereka mengajak anak muda berbicara tentang luka batin, energi positif, dan keseimbangan hidup dengan gaya yang lembut dan estetis.
Spritualitas kemudian menjadi bagian dari welness culture, perawatan diri yang holistik antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Tak jarang, konsep ini bercampur dengan gaya hidup urban: yoga di kafe, meditasi di taman kota, atau retreat healing di alam terbuka.
Namun, sebagaian pengamat menilai tren ini bisa beresiko menjadi sekadar konsumsi gaya hidup. "Spritualitas kehilangan makna sosialnya ketika hanya menjadi alat untuk branding diri," tulis antropolog Clifford Geertz dalam refleksi tentang ritual modernitas, pandangan yang kini kembali relevan di era media sosial.
Krisis Makna dan Kelebihan Generasi Z
Lahir di era penuh distraksi, generasi Z menghadapi tekanan mental yang unik. Data katadata Insight Center (2024) menunjukkan, 67 persen anak muda Indonesia mengalami stres dan merasa tidak bahagia, meski aktif di dunia digital. Banyak di antara mereka kemudian mencari pelarian ke arah spritualitas baru, lebih senyap, personal, dan bebas dari tekanan sosial.
"Anak muda mencari ruang untuk mengenal dirinya tanpa aturan yang kaku," kata Dinda Pratiwi, dosen antropologi budaya Universitas Indonesia. "Mereka ingin menemukan tuhan lewat pengalaman, bukan sekadar doktrin."
Dalam konteks ini, spritualitas berperan sebagai upaya bertahan. Ia menjadi cara anak muda mengatur napas di tengah dunia yang makin bising, sebuah bentuk perlawanan lembut terhadap tuntutan produktivitas dan pencitraan diri.
Komunitas digital dan ruang sunyi menariknya, spritualitas baru ini tidak selalu tumbuh di tempat ibadah, melainkan di ruang digital. Komunitas healing circle, online journaling class, hingga podcast meditasi menjadi tempat anak muda saling berbagi cerita dan refleksi.
Meskipun begitu, sebagian memilih jalan sunyi. "Aku mulai membatasi media sosial dan lebih sering ke alam," ujar Tegar (27), pekerja lepas asal Bukittinggi. "Rasanya aku lebih bisa mendengarkan diri sendiri tanpa harus membandingkan hidup dengan orang lain."

1 month ago
17






































