Pahlawan Nasional: Menolak Soeharto, Menolak Untuk Lupa

3 weeks ago 31
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Soeharto (Sumber: Kumparan.com)

Setiap November, menjelang peringatan Hari Pahlawan, bangsa ini kembali dihadapkan pada pertanyaan yang sama: siapa yang layak disebut pahlawan? Tahun ini, nama Soeharto kembali mencuat dalam wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional. Sejumlah pihak menilai jasa-jasanya besar dalam pembangunan dan stabilitas nasional. Namun, bagi sebagian lainnya, usulan ini terasa seperti upaya membungkam ingatan kolektif bangsa terhadap luka masa lalu.

Dalam konteks hukum dan keadilan sejarah, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan sekadar soal penghormatan terhadap individu. Ia menyangkut soal moral publik, integritas negara, dan komitmen bangsa terhadap prinsip non-impunity bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh dimaafkan tanpa keadilan. Karena itu, menolak Soeharto jadi pahlawan berarti menolak untuk lupa, menolak untuk memutihkan sejarah kelam bangsa sendiri.

Pahlawan dalam Perspektif Hukum dan Moral

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, seseorang hanya dapat dianugerahi gelar Pahlawan Nasional apabila memiliki integritas moral dan keteladanan yang luar biasa, serta tidak tercela secara hukum maupun moral. Pasal 25 huruf (b) dengan jelas menegaskan bahwa penerima gelar tidak boleh “terlibat dalam pengkhianatan terhadap negara, pelanggaran hukum, atau kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Jika merujuk pada ketentuan hukum ini, maka riwayat pemerintahan Soeharto sulit dilepaskan dari catatan pelanggaran HAM berat. Sejarah mencatat, masa pemerintahannya ditandai oleh pembungkaman politik, pelarangan kebebasan pers, penculikan aktivis, hingga korupsi terstruktur. Ironis bila negara justru mengabaikan hal-hal tersebut hanya demi kepentingan politik rekonsiliasi.

Hukum tidak sekadar mengatur perbuatan, tetapi juga merekam keadilan. Dalam kasus Soeharto, kita tidak sedang bicara tentang satu figur yang sempurna atau tidak, melainkan tentang bagaimana negara memperlakukan kebenaran.

Rezim Orde Baru menyisakan luka bagi ribuan korban pelanggaran HAM. Dari Tragedi 1965–1966 yang menelan korban ratusan ribu jiwa, penembakan misterius (petrus) di era 1980-an, hingga tragedi Mei 1998 yang menewaskan dan memperkosa warga sipil. Semua ini belum pernah tuntas secara hukum, belum ada pertanggungjawaban moral, apalagi keadilan bagi korban.

Pemberian gelar pahlawan tanpa penyelesaian hukum atas pelanggaran masa lalu berarti menghapus memori publik dan menormalisasi ketidakadilan. Padahal, hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada kepentingan politik sesaat. Negara yang menjunjung supremasi hukum seharusnya berani menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa disamarkan oleh gelar kehormatan.

Rekonsiliasi Bukan Pencucian Dosa

Kita sering mendengar alasan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bagian dari upaya “rekonsiliasi nasional”. Namun, rekonsiliasi sejati tidak pernah lahir dari penyangkalan, melainkan dari pengakuan dan pertanggungjawaban.

Di Afrika Selatan, Nelson Mandela mengajarkan bahwa truth and reconciliation harus dimulai dari keberanian mengakui kebenaran. Di Indonesia, konsep itu seolah dibalik: kita justru ingin melupakan, bukan mengakui. Rekonsiliasi tanpa kebenaran hanyalah propaganda politik yang menutup luka bangsa dengan karpet tebal simbolisme.

Hukum tidak boleh tunduk pada romantisme sejarah. Ia harus berdiri di atas moral yang teguh. Jika negara benar-benar ingin menghormati jasa seseorang, maka negara juga harus berani mengakui kesalahan yang lahir dari kebijakan dan kekuasaannya.

Kita hidup di era ketika sejarah sering direvisi. Banyak generasi muda mengenal Soeharto lewat meme “zaman dulu harga-harga murah”, tanpa tahu bagaimana represi politik dan pembungkaman kebebasan menjadi harga yang dibayar.

Mereka tidak pernah mengalami bagaimana kritik terhadap pemerintah bisa berujung hilang tanpa kabar, bagaimana media dipaksa menulis narasi tunggal, atau bagaimana rakyat takut menyebut nama penguasa di ruang publik. Itulah mengapa, penolakan terhadap gelar pahlawan bagi Soeharto juga merupakan upaya menjaga agar generasi baru tidak buta sejarah.