Setiap November, menjelang peringatan Hari Pahlawan, bangsa ini kembali dihadapkan pada pertanyaan yang sama: siapa yang layak disebut pahlawan? Tahun ini, nama Soeharto kembali mencuat dalam wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional. Sejumlah pihak menilai jasa-jasanya besar dalam pembangunan dan stabilitas nasional. Namun, bagi sebagian lainnya, usulan ini terasa seperti upaya membungkam ingatan kolektif bangsa terhadap luka masa lalu.
Dalam konteks hukum dan keadilan sejarah, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan sekadar soal penghormatan terhadap individu. Ia menyangkut soal moral publik, integritas negara, dan komitmen bangsa terhadap prinsip non-impunity bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh dimaafkan tanpa keadilan. Karena itu, menolak Soeharto jadi pahlawan berarti menolak untuk lupa, menolak untuk memutihkan sejarah kelam bangsa sendiri.
Pahlawan dalam Perspektif Hukum dan Moral
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, seseorang hanya dapat dianugerahi gelar Pahlawan Nasional apabila memiliki integritas moral dan keteladanan yang luar biasa, serta tidak tercela secara hukum maupun moral. Pasal 25 huruf (b) dengan jelas menegaskan bahwa penerima gelar tidak boleh “terlibat dalam pengkhianatan terhadap negara, pelanggaran hukum, atau kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Jika merujuk pada ketentuan hukum ini, maka riwayat pemerintahan Soeharto sulit dilepaskan dari catatan pelanggaran HAM berat. Sejarah mencatat, masa pemerintahannya ditandai oleh pembungkaman politik, pelarangan kebebasan pers, penculikan aktivis, hingga korupsi terstruktur. Ironis bila negara justru mengabaikan hal-hal tersebut hanya demi kepentingan politik rekonsiliasi.
Hukum tidak sekadar mengatur perbuatan, tetapi juga merekam keadilan. Dalam kasus Soeharto, kita tidak sedang bicara tentang satu figur yang sempurna atau tidak, melainkan tentang bagaimana negara memperlakukan kebenaran.
Rezim Orde Baru menyisakan luka bagi ribuan korban pelanggaran HAM. Dari Tragedi 1965–1966 yang menelan korban ratusan ribu jiwa, penembakan misterius (petrus) di era 1980-an, hingga tragedi Mei 1998 yang menewaskan dan memperkosa warga sipil. Semua ini belum pernah tuntas secara hukum, belum ada pertanggungjawaban moral, apalagi keadilan bagi korban.
Pemberian gelar pahlawan tanpa penyelesaian hukum atas pelanggaran masa lalu berarti menghapus memori publik dan menormalisasi ketidakadilan. Padahal, hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada kepentingan politik sesaat. Negara yang menjunjung supremasi hukum seharusnya berani menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa disamarkan oleh gelar kehormatan.
Rekonsiliasi Bukan Pencucian Dosa
Kita sering mendengar alasan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bagian dari upaya “rekonsiliasi nasional”. Namun, rekonsiliasi sejati tidak pernah lahir dari penyangkalan, melainkan dari pengakuan dan pertanggungjawaban.
Di Afrika Selatan, Nelson Mandela mengajarkan bahwa truth and reconciliation harus dimulai dari keberanian mengakui kebenaran. Di Indonesia, konsep itu seolah dibalik: kita justru ingin melupakan, bukan mengakui. Rekonsiliasi tanpa kebenaran hanyalah propaganda politik yang menutup luka bangsa dengan karpet tebal simbolisme.
Hukum tidak boleh tunduk pada romantisme sejarah. Ia harus berdiri di atas moral yang teguh. Jika negara benar-benar ingin menghormati jasa seseorang, maka negara juga harus berani mengakui kesalahan yang lahir dari kebijakan dan kekuasaannya.
Kita hidup di era ketika sejarah sering direvisi. Banyak generasi muda mengenal Soeharto lewat meme “zaman dulu harga-harga murah”, tanpa tahu bagaimana represi politik dan pembungkaman kebebasan menjadi harga yang dibayar.
Mereka tidak pernah mengalami bagaimana kritik terhadap pemerintah bisa berujung hilang tanpa kabar, bagaimana media dipaksa menulis narasi tunggal, atau bagaimana rakyat takut menyebut nama penguasa di ruang publik. Itulah mengapa, penolakan terhadap gelar pahlawan bagi Soeharto juga merupakan upaya menjaga agar generasi baru tidak buta sejarah.

3 weeks ago
31






































