Di antara gemerlap butik mewah dan danau yang memantulkan bayangan Pegunungan Alpen, tersembunyi sisi lain dari Jenewa yang jauh lebih tenang—Old Town Geneva, jantung sejarah kota yang berdenyut lembut di antara batu-batu tua dan aroma kopi pagi dari kafe kecil di sudut jalan.
kumparanTravel ditemani Pierre Ariel Haemmerle, sosok flamboyan berusia 82 tahun yang sudah lebih dari tiga dekade menjadi pemandu kota yang dicintainya.
Usianya mungkin sudah senja, tetapi suara dan semangatnya memancarkan energi seseorang setengah usianya. Matanya berbinar ketika membawakan cerita yang menjadi jembatan masa kini dan masa lampau.
"Aku selalu bangga menjadi warga Jenewa. Kami dianugerahi udara berkualitas dan air yang sangat jernih. Untuk apa aku mengeluh?" katanya sambil tertawa lepas.
Begitu melangkah ke kawasan Kota Tua, waktu seolah melambat. Jalanan berbatu yang berkelok membawa langkah menuju masa lalu, ketika Jenewa masih menjadi benteng kecil yang dikelilingi tembok abad pertengahan. Di sini, setiap jendela, setiap pintu kayu, menyimpan kisah tentang para filsuf, pedagang, dan pendeta yang pernah melintasinya.
Di tengah kota tua berdiri St. Pierre Cathedral, ikon spiritual yang megah dengan menara gothic yang menjulang. Dari puncaknya, pemandangan kota terbentang menakjubkan—atap-atap merah, menara jam, dan kilau Danau Geneva di kejauhan. Namun di bawah gereja inilah rahasianya tersimpan: ruang bawah tanah arkeologis yang memperlihatkan lapisan sejarah kota sejak zaman Romawi.
Tak jauh dari sana, langkah membawa ke Place du Bourg-de-Four, alun-alun tertua di Jenewa. Dulu tempat para pedagang dan pengelana bertukar kabar dan barang dagangan, kini berubah menjadi ruang yang hidup dengan deretan kafe dan restoran. Di sini, waktu terbaik adalah sore hari—ketika matahari condong ke barat, dan suasana terasa seperti lukisan hidup: gelas anggur yang beradu, tawa lembut, dan bau roti panggang yang melayang di udara.
Bagi pencinta buku, Maison Tavel dan Musée d’Art et d’Histoire menjadi perhentian wajib. Maison Tavel, rumah tertua di Jenewa, membawa pengunjung menjelajah melalui diorama kota abad ke-19, lengkap dengan detail atap dan jalan. Sementara museum seni di ujung jalan memamerkan karya yang menautkan masa klasik dan modern, seolah menegaskan: Jenewa selalu berada di persimpangan antara tradisi dan kemajuan.
Menjelang senja, lampu-lampu jalan mulai menyala. Suara langkah di atas batu terasa lebih lembut. Dari jendela apartemen tua, samar terdengar nada-nada biola, mengalun di udara dingin yang lembap. Saat itulah, Old Town Geneva bukan lagi sekadar kawasan wisata, melainkan ruang tempat masa kini dan masa lalu bertemu—dan di sanalah, keindahan sejatinya bersemayam.

4 weeks ago
36






































