“Mari kita belok sini, Bu! “ seru Bu RT setempat yang sedang memandu saya menuju tempat tinggal salah satu warganya.
Bau menyengat langsung tercium begitu saya menapakkan kaki di belokan yang dimaksud Bu RT. Kerubungan lalat pun seketika turut menyerbu langkah saya saat menelusuri lorong yang ternyata ujungnya adalah lokasi TPS (Tempat Pembuangan Sementara) sampah untuk RW setempat.
Sementara saya merasakan mual yang mulai naik ke tenggorokan, Bu RT tampak tak terganggu sedikit pun. Baik oleh aroma yang sangat menusuk, maupun oleh lalat-lalat yang beterbangan di sekeliling kami. Dan kala Bu RT memasuki celah sempit di antara timbunan sampah yang menjulang, saya pun terdiam. Langkah saya terhenti.
Mata saya terpaku pada sebuah gubuk kecil dari triplek hitam lapuk. Atapnya dari potongan asbes bekas yang tersusun miring tak beraturan, seolah berusaha bertahan dari runtuh. Gubuk itu bersandar pada gunungan sampah yang tingginya melewati batas kepala saya.
Seorang gadis manis melangkah keluar dari ruang gelap sempit itu. Senyumnya sekilas nampak saat menjawab panggilan Bu RT.
“Ibu ada di dalam, nak? “ tanya Bu RT sembari terus melangkah mendekati ruang gelap tempat gadis itu berdiri.
“Ibu sedang sakit, Bu. Tidak bisa bangun” jawab gadis manis itu dengan suara lirih.
Saya tetap berdiri di pinggir celah, terlalu resah untuk melangkah lebih jauh. Kepungan lalat semakin banyak, dan napas saya pun mulai terasa sesak.
“Tidak apa, dik! Biarkan ibu beristirahat dulu. Saya titip saja kupon untuk mengambil sembako ini ke adik ya! Nanti dibawa kuponnya pada tanggal yang sudah ditentukan untuk pengambilan sembako.”
Gadis manis itu hanya mengangguk pelan. Tatapan matanya yang tanpa binar, menatap saya sedetik sebelum ia mengalihkan kembali pandangannya kepada Bu RT.
Nampak Bu RT berbincang sesaat dengan gadis itu sementara saya mundur perlahan dari ujung celah sempit tempat saya berdiri tadi.
Dengan langkah tergesa, saya menghela diri untuk segera keluar dari lorong gelap itu, meninggalkan kerubungan lalat dan aroma yang nyaris membuat saya menumpahkan seluruh isi perut.
Sungguh, sangat miris rasanya untuk menyaksikan pemandangan tadi, sementara kompleks perumahan mewah hanya berjarak lima belas menit dari lokasi ini.
Perjumpaan dengan sang gadis, dan ibunya yang tinggal di atas timbunan sampah itu sungguh terpatri dalam ingatan saya. Membuat saya merenungkan kembali tentang bagaimana saya memposisikan diri saya sendiri selama ini.
Sudut Kesedihan di Balik Megahnya Gedung Mewah
Menjadi bagian dari komunitas nonprofit yang memiliki agenda kegiatan kemanusiaan, membuat saya sering melihat sisi lain kehidupan yang jauh dari kata layak. Mereka berjuang untuk sekadar makan, dan tinggal di lokasi yang tidak semestinya disebut sebagai ‘rumah’.
Bahkan terkadang, kondisi fisik mereka pun tidak sedang dalam keadaan yang baik-baik saja. Beberapa mengidap sakit kronis. Ada yang mengalami disabilitas fisik, ada pula yang terluka secara batin, terguncang oleh hal-hal yang tidak bisa mereka ceritakan.
Setiap kali saya mendengar sepotong kisah dari wajah-wajah itu, saya seperti tertampar oleh kesadaran. Betapa seringnya saya mengeluh, mengasihani diri sendiri, dan merasa paling menderita hanya karena hidup tidak berjalan sesuai harapan. Padahal, saya hidup dengan sandang, pangan, dan papan yang layak. Dan bahkan kadang, lebih dari cukup.

3 weeks ago
15






































