Bulan November merupakan bulan yang sangat istimewa bagi Bangsa Indonesia. Pada bulan inilah seluruh rakyat Indonesia memperingati Hari Pahlawan, sebuah momentum untuk mengenang jasa para pejuang yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa.
Bagi masyarakat Riau, khususnya Kampar, bulan November juga menjadi waktu yang tepat untuk menelusuri kembali jejak para pahlawan lokal yang telah berjuang mempertahankan marwah negeri ini jauh sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang tanah air, sekaligus dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November, penulis mengisahkan kembali perjuangan seorang tokoh besar dari Sumatera Tengah yang pernah menjadi Panglima Perang Kampar, ia adalah sosok dubalang tangguh yang dikenal dengan nama Karim Datuok Saibu Gaghang, atau yang masyhur di lidah masyarakat sebagai Datuk Seribu Garang.
Nama Karim Datuk Seribu Garang, atau dalam bahasa lokal disebut Datuok Saibu Gaghang atau hanya Bu Gaghang, hidup dalam ingatan masyarakat Kampar sebagai simbol keberanian yang tak tertandingi. Ia lahir sekitar 1826 di Muara Uwai, Kenegerian Bangkinang, dari Persukuan Melayu Datuok Mudo. Sejak muda, Karim ditempa adat dan menjawat gelar Datuok Panglimo Jolelo atau nama lain dari Datuk Seribu Garang, sebuah posisi dubalang yang bertugas sebagai penjaga marwah, pertahanan dan keamanan negeri.
Pada akhir abad ke-19, ketika Belanda gencar menaklukkan Sumatera Tengah demi tambang dan perkebunan, tanah V Koto Kampar (Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris, dan Rumbio) menjadi benteng terakhir yang sulit ditembus. Dalam catatan J.W. IJzerman yang berjudul Dwars Door Sumatera (1895), tertulis:
Di bawah kepemimpinannya, para dubalang Kampar seperti Gandulo Datuok Tabano, Kasir Datuok Saibu Gaghang (penjawat gelar), Saleh Datuok Si Ampang Langka, Usman Datuok Dubalang Kayo, Daud Datuok Rajo Angek Garang, dan Hadji Ismail Datuok Panglimo Caka bersatu melawan kolonial. Ia menjadi guru dan panutan “Generasi Emas Dubalang Kampar” yang disegani karena disiplin dan kesetiaannya terhadap adat.
Perlawanan besar terjadi pada tahun 1899, saat Belanda melancarkan serangan balasan ke Bangkinang pasca-insiden Pulau Godang. Karim Datuok Saibu Gaghang gugur pada 28 Agustus 1899, bersama rekan-rekan seperjuangannya. Jenazahnya dimakamkan di Teratak Baru, wilayah Persukuan Melayu Datuok Patio.
Lebih dari seorang tokoh perang, Karim Datuok Saibu Gaghang adalah simbol marwah dan keteguhan adat Tanah Andiko atau Tanah Kampar. Dalam memori kolektif masyarakat, namanya menjadi perwujudan nilai keberanian, harga diri, dan kepemimpinan sejati. Ia bukan hanya pahlawan lokal, melainkan juga salah satu figur penting yang menegaskan bahwa Kampar pernah menjadi tanah yang tak pernah tunduk di bawah tapak kolonial.

2 weeks ago
26






































