Hilangnya Sakralitas Ujian Skripsi: Dari Ruang Sidang ke Lini Masa

3 weeks ago 29
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Ilustrasi skripsi. Foto: Aewphoto/Shutterstock

Ujian skripsi dulunya dikenal sebagai momen sakral dalam perjalanan akademik seorang mahasiswa. Ujian skripsi adalah gerbang terakhir menuju gelar sarjana, sekaligus ruang pengakuan atas kemampuan intelektual yang ditempa selama bertahun-tahun. Namun, belakangan ini, kesakralan itu seakan memudar. Ujian skripsi kini kerap tampil bukan sebagai panggung intelektual, melainkan sebagai ajang selebrasi, bahkan lebih jauh telah menjadi “panggung pencitraan”.

Fenomena ini semakin terasa di era media sosial. Setiap periode sidang skripsi, lini masa kita mendadak dipenuhi dengan unggahan foto dan video mahasiswa bersama keluarga dan sahabat. Tidak jarang, nuansa yang tampak justru lebih mirip pesta pernikahan ketimbang ujian akademik. Selempang dengan nama lengkap dan gelar yang bahkan belum sah, buket bunga yang harganya tak main-main, hingga baliho mini yang menyerupai ucapan selamat untuk pejabat negara.

Pertanyaan mendasar, kapan sebenarnya gelar itu resmi disandang? Jawabannya jelas, setelah yudisium, ketika surat keputusan disahkan oleh pejabat berwenang di kampus. Maka, mengenakan selempang bergelar sebelum momen itu sejatinya adalah bentuk manipulasi simbolik. Sebuah gelar yang belum sah ditampilkan seakan sudah final.

Ada paradoks menarik dalam tren ini. Di luar ruang sidang, kita melihat euforia berlebihan, sementara di dalam justru sering terdengar keheningan. Tidak sedikit mahasiswa yang tampil percaya diri di depan kamera, tetapi gagap ketika ditanya mengenai substansi skripsinya. Mereka bingung menjelaskan alasan pemilihan metode penelitian, bahkan tidak mampu menguraikan kerangka teori yang digunakan.

Di sinilah letak keprihatinannya. Ujian skripsi yang seharusnya menguji ketajaman berpikir, justru berubah menjadi formalitas administratif. Sementara itu, selebrasi pasca-sidang berkembang menjadi sebuah "ritual wajib", seakan kelulusan tanpa pesta dianggap kurang sah.

Ilustrasi perayaan kelulusan. Foto: Shutter Stock

Apakah selebrasi itu salah? Tentu tidak. Perayaan adalah bagian dari budaya manusia. Ia menjadi ekspresi rasa syukur setelah melalui proses panjang dan penuh tantangan. Namun, persoalannya terletak pada kadar dan orientasi. Ketika selebrasi lebih megah daripada kualitas akademik, kita patut bertanya, apa sebenarnya makna menjadi seorang sarjana?

Fenomena ini tidak berhenti pada individu, melainkan merembes ke masyarakat luas. Sarjana dipersepsikan bukan lagi sebagai sosok yang berilmu dan mampu memberi kontribusi, melainkan sekadar gelar yang bisa dipamerkan. Gelar menjadi komoditas simbolik, bukan tanda kompetensi.

Lebih jauh, budaya selebrasi ini berpotensi mendorong hedonisme akademik. Mahasiswa terdorong untuk mengejar pengakuan sosial lewat kemewahan perayaan, alih-alih menekankan substansi intelektual. Bagi sebagian keluarga, muncul pula beban sosial—merasa harus mengikuti tren selebrasi agar tidak dianggap kurang mampu atau kurang berprestasi.

Ironisnya, di tengah gegap gempita ucapan selamat di media sosial, masih ada lulusan yang kesulitan menjawab wawancara kerja sederhana. Ada pula yang tidak mampu menulis laporan portofolio (curriculum vitae) dengan baik, meski baru saja melewati proses penelitian. Ketimpangan ini mencerminkan adanya jurang antara gelar formal dan kompetensi riil.

Dalam tradisi akademik, sarjana bukan sekadar status sosial, melainkan amanah. Ia adalah simbol bahwa pemiliknya telah ditempa dalam disiplin ilmu tertentu, mampu berpikir kritis, dan memiliki tanggung jawab moral untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Jika gelar hanya dipandang sebagai ornamen untuk foto dan perayaan, maka kita tengah mengikis makna luhur pendidikan tinggi. Kampus yang semestinya menjadi kawah candradimuka intelektual, berisiko berubah menjadi panggung seremonial belaka.

Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock

Di sinilah peran dosen, pengelola kampus, bahkan keluarga menjadi penting. Kampus perlu mengembalikan marwah ujian skripsi sebagai ruang dialog akademik. Bukan sekadar menilai hasil tulisan, tetapi juga menguji proses berpikir mahasiswa. Ujian skripsi harus menjadi arena di mana mahasiswa diuji kematangan intelektualnya, bukan hanya kemampuan bertahan dari gugup.

Sementara itu, keluarga dan masyarakat juga perlu menata ulang cara pandang. Perayaan kelulusan boleh saja, tetapi hendaknya proporsional. Tidak perlu terjebak pada glamoritas yang justru mengaburkan makna perjuangan akademik itu sendiri.

Mahasiswa, dengan segala kreativitasnya, tentu sah-sah saja merayakan momen ...

Read Entire Article