Ekonom pangan dari CORE Indonesia, Eliza Mardian, menilai porsi pembelian pupuk dalam keseluruhan total biaya produksi hanya menempati bagian kecil dibanding biaya lainnya. Menurutnya, penurunan harga pupuk masih perlu diperkuat dengan mekanisasi pertanian dan peningkatan produktivitas jika tujuannya adalah menekan biaya produksi.
“Porsi pengeluaran untuk beli pupuk dalam cost structure itu kurang lebih 12-15 persen. 50 persen lebih itu untuk biaya tenaga kerja dan 25 persen nya itu untuk sewa lahan. Jadi kalau mau signifikan menurunkan biaya produksi dan menurunkan harga beras, kudu diperkuat dengan mekanisasi pertanian dan peningkatan produktivitas,” kata Eliza kepada kumparan, Minggu (26/10).
Untuk stabilisasi harga pupuk, Eliza juga menilai perlu dilakukan pengawasan secara ketat. Hal ini karena menurutnya masih ada pupuk stok lama yang berada di toko pupuk. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan agar toko pupuk yang masih memiliki stok lama tak merugi.
“Toko-toko pupuk yang masih punya stok lama yang harga modal penebusannya masih mahal nanti akan diganti selisihnya, agar para toko tadi tidak merugi. Ini adalah bentuk komitmen pemerintah yang ingin secara cepat menurunkan harga pupuk tapi disisi lain ini adalah salah satu strategi percepatan realisasi anggaran ketahanan pangan,” ujarnya.
Dengan diturunkannya harga pupuk saat ini, Eliza juga melihat dampaknya akan terasa pada musim panen di mana harga beras juga dapat turun sehingga dampaknya bukan hanya untuk petani melainkan masyarakat.
“Penurunan harga dilakukan ketika memasuki penanaman pertama di November dan Desember untuk di panen di maret April 2026 nanti sehingga diharapkan harga beras dapat diturunkan, sehingga konsumen bisa lebih murah dan petani sejahtera. Tapi penurunan harga pupuk aja enggak cukup, perlu bauran kebijakan perbaikan tata kelola tadi dari hulu sampai ke hilirnya,” kata Eliza.
Selain Eliza, pengamat pertanian Syaiful Bahari menilai penurunan harga pupuk memang akan berdampak positif bagi petani dalam hal ketersediaan pupuk dan peningkatan produksi. Meski demikian, ia juga mengingatkan produksi tak hanya ditentukan oleh harga pupuk.
“Ada beberapa faktor yang berpengaruh juga, di antaranya harga bibit, biaya tenaga kerja, dan biaya sewa tanah atau sewa garap yang semakin tinggi. Jadi, pekerjaan rumah dan tantangan Kementan memang cukup besar, dan sebenarnya kewajiban menurunkan HPP pertanian bukan hanya tanggung jawab kementan sendiri,” ujar Syaiful.
Ia juga menyebut mekanisme pertanian harus dilakukan. Hal ini agar biaya produksi utamanya dari unsur tenaga kerja pertanian bisa ditekan. Pada akhirnya, tujuan dari semua langkah menurut Syaiful yang paling penting adalah turunnya harga beras di tingkat masyarakat.
“Terakhir, semua upaya penurunan faktor produksi termasuk pupuk harus berdampak kepada turunnya harga beras di konsumen. Jangan harga pupuk sudah turun dan produksi sudah naik, harga beras di masyarakat masih tinggi. Sehingga untuk mengatasi swasembada beras pendekatannya harus multidimensi,” kata Syaiful.
Dengan penurunan harga 20 persen, harga pupuk jenis urea turun dari Rp 2.250 menjadi Rp 1.800 per kilogram atau dari Rp 112.500 menjadi Rp 90.000 per sak. Sementara pupuk NPK turun dari Rp 2.300 menjadi Rp 1.840 per kilogram atau dari Rp 115.000 menjadi Rp 92.000 per sak.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga menjelaskan kebijakan ini merupakan hasil efisiensi anggaran yang...

1 month ago
35






































