Jakarta (ANTARA) - Keprihatinan Presiden Prabowo Subianto yang disuarakan di KTT APEC di Korea Selatan beberapa waktu lalu tentang bahaya aktivitas perjudian daring bukanlah eksklusif hanya tentang Indonesia, tetapi menyimpan hal yang lebih esensial secara global.
Bukan hanya tentang dampak kerugian ekonomi per tahun yakni sebesar 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp133,5 triliun yang diderita oleh Republik Indonesia, tetapi persoalan itu mencerminkan tren yang lebih besar dan sangat berbahaya mengenai aktivitas digital yang tidak diatur selayaknya.
Selain aktivitas perjudian, kejahatan lainnya seperti penipuan siber, pencurian data, dan perdagangan daring ilegal juga menggerogoti pendapatan nasional, mengganggu stabilitas sistem keuangan, dan melemahkan kepercayaan publik di seluruh dunia.
Untuk itu, kepala negara RI sudah sangat tepat untuk mengingatkan bahwa tanpa kerja sama internasional yang lebih kuat dan etika digital bersama, ancaman-ancaman ini tidak hanya dapat merusak perekonomian nasional tetapi juga integritas ekosistem digital global yang menopang pembangunan dan konektivitas modern.
Guna mengatasi berbagai risiko ini, Indonesia tentu dapat mendorong kerangka kerja global yang mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam tata kelola digital.
Selain itu, mengadvokasi standar AI yang etis, perlindungan data yang lebih kuat, dan pengembangan kapasitas yang inklusif bagi negara-negara berkembang, Indonesia dapat membantu memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap berpusat pada manusia dan melayani kesejahteraan kolektif, alih-alih kekuasaan yang terpusat.
Baca juga: Di KTT APEC, Prabowo: RI kehilangan 8 miliar dolar karena judol
Hal ini harus dilandasi dengan kesepahaman bahwa tantangan digital yang terjadi saat ini lebih luas, jauh melampaui kerugian terhadap kondisi ekonomi, karena pertumbuhan kecerdasan buatan, eksploitasi data, dan manipulasi algoritma yang tak terkendali mengancam memperdalam ketimpangan global, menyebarkan misinformasi, dan mengikis fondasi etika.
Kondisi ekosistem digital yang tidak diatur seringkali mengutamakan sejumlah pihak yang memiliki dominasi teknologi, sehingga membuat negara-negara berkembang rentan terhadap eksploitasi dan ketergantungan.
Dapat dilihat dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara berpenghasilan tinggi semakin menentukan arah tata kelola digital melalui inisiatif seperti Undang-Undang AI Uni Eropa dan dominasi Amerika Serikat di platform teknologi utama.
Meski kerangka kerja dari teknologi ini memiliki kecanggihan yang sangat memukau, seringkali didominasi prioritas dan nilai-nilai Barat, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang bagi negara-negara berkembang untuk memengaruhi standar global, sehingga membuat banyak negara berkembang berakhir sebagai konsumen pasif.
Dengan kata lain, konsumen di banyak negara hanya menjadi "korban" dari algoritma yang tidak transparan yang tertanam dalam aplikasi impor, layanan cloud, dan perangkat AI yang tidak dapat mereka audit atau atur sepenuhnya.
Ketidakseimbangan ini berisiko melanggengkan kolonialisme digital, di mana data dan inovasi mengalir satu arah dan keluar dari negara-negara berkembang tanpa adanya manfaat atau perlindungan yang setara.
Baca juga: KTT APEC, Prabowo sebut AI atasi kemiskinan, capai swasembada pangan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

3 weeks ago
9






































