Beijing (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri China merespon pernyataan Presiden Filipina Ferdinand Marcos yang mengungkapkan adanya bahaya di Laut China Selatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Ameriak Serikat di Kuala Lumpur.
"Laut China Selatan adalah rumah bersama bagi China dan negara-negara ASEAN, dan kita perlu bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di sana. Pelanggaran yang disengaja dan aktivitas provokatif Filipina di laut merupakan akar penyebab ketegangan saat ini," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing, Senin (27/10).
Dalam KTT ASEAN-AS pada Senin (27/10) Presiden Filipina Ferdinand R. Marcos Jr mengatakan kekhawatirannya mengenai kondisi di Laut China Selatan.
"Di Laut China Selatan, sangat disayangkan bahwa insiden terus terjadi di Laut Filipina Barat yang membahayakan nyawa personel Filipina dan membahayakan keselamatan kapal dan pesawat kami," kata Presiden Marcos.
Marcos melanjutkan bahwa insiden tersebut termasuk manuver berbahaya dan penggunaan alat dan perlengkapan untuk mengganggu atau menghalangi aktivitas Filipina yang sah dan rutin di zona maritim dan wilayah udara wilayahnya sendiri, sebagaimana dijamin oleh hukum internasional, khususnya UNCLOS.
"China akan terus menjaga kedaulatan, hak, dan kepentingannya dengan tegas sesuai dengan hukum, dan sementara itu, siap untuk menangani sengketa maritim dengan tepat melalui dialog dan konsultasi dengan Filipina, serta bekerja sama dengan negara-negara ASEAN," tambah Guo Jiakun.
Guo Jiakun menyebut China juga siap untuk sepenuhnya mengimplementasikan Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan (Declaration of Conduct atau DOC), memajukan konsultasi mengenai kode etik para pihak (Code of Conduct atau COC) di Laut China Selatan dan bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di sana.
"Negara terkait hendaknya sungguh-sungguh menaati ketentuan DOC dan menghentikan pelanggaran, provokasi, dan menakut-nakuti," tegas Guo Jiakun.
Dalam pernyataannya dalam KTT ASEAN-AS, Marcos mengatakan upaya beberapa aktor pihak tertentu --meski tidak menuduh satu negara tertentu-- untuk menetapkan apa yang disebut status "cagar alam" di atas Bajo de Masinloc atau Scarborough Shoal, yang merupakan bagian integral dan telah lama berdiri dari Filipina yang memiliki kedaulatan dan yurisdiksi.
"Hal itu jelas melanggar tidak hanya kedaulatan Filipina, tapi juga hak penangkapan ikan tradisional rakyat kami yang dijamin oleh hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982, dan ditegaskan oleh Putusan Arbitrase Laut China Selatan 2016 yang final dan mengikat serta hukum domestik terkait," tegas Marcos.
Namun terlepas dari insiden-insiden tersebut, Marcos menyebut Filipina akan tetap teguh, tenang, dan teguh dalam komitmennya untuk sepenuhnya mengimplementasikan DOC dan untuk mengupayakan negosiasi yang produktif menuju COC yang efektif, substantif, dan konsisten dengan hukum internasional, khususnya UNCLOS.
Beijing sebelumnya mengumumkan bahwa Dewan Negara China telah menyetujui pembentukan Cagar Alam Nasional Pulau Huangyan, yang digambarkan sebagai "jaminan penting untuk menjaga keanekaragaman, stabilitas, dan keberlanjutan ekosistem alam" di pulau yang disengketakan tersebut.
Huangyan Dao atau Scarborough Shoal atau Beting Scarborough adalah formasi terumbu karang berbentuk lingkaran yang terbentang sepanjang 230 km dari Filipina dan 1.000 km dari Pulau Hainan China.
Pada 2002, ASEAN dan China sudah menandatangani DOC yang berisi komitmen untuk "meningkatkan kondisi yang menguntungkan bagi solusi damai dan berkelanjutan atas perbedaan dan perselisihan di antara negara-negara terkait."
Namun, bertahun-tahun kemudian, negara-negara yang memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan yaitu China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia belum mencapai solusi atas sengketa tersebut.
Dalam kasus Filipina, DOC tidak menghentikan Tiongkok untuk merebut kendali atas Beting Ayungin (Second Thomas) pada 2012 setelah ketegangan dengan Angkatan Laut Filipina, dan serangan meriam air serta penabrakan kapal-kapal Filipina.
Filipina mengajukan gugatan arbitrase terhadap China ke Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda pada tahun 2013.
Kemudian pada 2016, Mahkamah Arbitrase memutuskan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sepanjang 200 mil laut (370 kilometer) menjadi hak Filipina untuk memanfaatkan energi dan sumber daya lainnya, tapi kawasan itu beririsan dengan perairan yang diklaim China sebagai wilayahnya.
Putusan tersebut juga menyatakan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dan menyebabkan "kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang" dengan membangun pulau-pulau buatan, reklamasi pulau yang dilakukan China di perairan tersebut dianggap mahkamah tidak memberi hak apa pun kepada pemerintah China.
Namun, China tidak pernah menerima keputusan Mahkamah Arbitrase tersebut dengan menyatakan melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional karena tidak menyertakan pandangan yang menyeluruh dari China dan juga melanggar DOC yang sudah disepakati sebelumnya.
Baca juga: Jepang dan Filipina pererat kerja sama keamanan Asia-Pasifik
Baca juga: Beijing jelaskan tabrakan kapal dengan Filipina di Laut China Selatan
Baca juga: China minta AS tidak ikut campur di kawasan Beting Scarborough
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

4 weeks ago
17






































