Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) berpolemik imbas isu dana pemerintah daerah (pemda) disebut mengendap di perbankan.
Fenomena menumpuknya dana pemerintah daerah di perbankan bukanlah hal baru. Menurut pengamat perbankan Paul Sutaryono, langkah pemda menempatkan dana di bank, terutama di Bank Pembangunan Daerah (BPD), dianggap wajar karena alasan keamanan dan potensi pendapatan bunga.
“Tentu saja pemda lebih senang memarkir dana di bank di daerahnya yakni BPD. Karena aman dan dapat menghasilkan pendapatan dari bunga,” ujar Paul kepada kumparan, Kamis (23/10).
Kendati begitu, ia mengingatkan kebiasaan tersebut berdampak pada lambatnya penyerapan APBD. “Tengok saja, penyerapan APBN 2025 baru sekitar 60 persen padahal tidak sampai 3 bulan lagi anggaran harus ditunaikan,” ungkapnya.
Menurut Paul, dampak paling terasa adalah melemahnya daya dorong belanja pemerintah terhadap ekonomi daerah. “Potensi risikonya, belanja anggaran (government spending) kurang mampu menggairahkan ekonomi di daerahnya,” katanya.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy menilai penyebab utama meningkatnya simpanan Pemda di bank adalah keterlambatan eksekusi anggaran.
“Salah satu penyebab klasiknya adalah keterlambatan eksekusi belanja daerah. Banyak Pemda yang belum bisa segera menyalurkan anggaran karena mereka terlambat menerima petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari pemerintah pusat,” jelas Yusuf.
Ia menambahkan, tahun politik seperti 2025 turut memperlambat realisasi anggaran. “Dalam masa transisi ini, banyak organisasi perangkat daerah yang memilih menunda dulu eksekusi belanjanya sambil menunggu arahan dan kebijakan dari kepala daerah yang baru dilantik,” katanya.
Menurutnya, dana yang mengendap jelas berdampak pada perekonomian. “Selama dana tersebut belum dibelanjakan, efek pengganda atau multiplier effect dari belanja pemerintah tidak berjalan optimal,” ujar Yusuf.
Namun, ia mengingatkan agar publik tidak gegabah menilai setiap kenaikan simpanan sebagai tanda lemahnya belanja. “Dalam beberapa kasus, saldo kas daerah meningkat karena penerimaan daerah juga naik,” katanya.
Yusuf menutup dengan pesan agar percepatan realisasi belanja daerah menjadi prioritas. “Ketika dana yang sudah tersedia bisa segera disalurkan ke program-program produktif, dampaknya akan langsung terasa pada kegiatan ekonomi di daerah, mulai dari konsumsi masyarakat hingga investasi lokal,” ujarnya.
Isu ini bermula dari paparan pemerintah pusat yang menyebut Jawa Barat memiliki dana mengendap sebesar Rp 4,1 triliun. Namun, Dedi Mulyadi membantah dan menyebut berdasarkan data kas harian di Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD), jumlah sebenarnya hanya Rp 2,6 triliun.
“Ya hasilnya, kalau kita melihat data memang per hari ini, per tanggal 17 Oktober, dana di kas Provinsi Jabar memang Rp 2,6 triliun bukan Rp 4,1 triliun,” ujar Dedi usai mendatangi kantor Bank Indonesia (BI), Rabu (22/10).
Dedi menjelaskan bahwa perbedaan angka itu terjadi karena BI memegang data pelaporan keuangan per 30 September 2025. Dalam data itu, dana kas daerah Jabar dalam bentuk giro tercatat sebesar Rp 3,8 triliun, sementara sisanya merupakan dana BLUD (Badan Layanan Umum Daerah).
“Sisanya itu adalah dana BLUD yang tersimpan dalam bentuk deposito di BLUD masing-masing di luar kas daerah karena mereka melakukan pengelolaannya sendiri seperti rumah sakit, kemudian dinas kesehatan ...

1 month ago
28






































