Kampung Apung, sebuah pemukiman terapung di Kapuk Teko, Kalideres, Cengkareng, Jakarta Barat dulunya merupakan areal persawahan hingga empang yang subur. Kini, sekitar 200 Kepala Keluarga yang ada di sana sebagian besar tinggal di rumah-rumah terapung.
Air mulai menggenang sekitar tahun 1990-an. Ada beberapa faktor, salah satunya pembangunan di sekitar kawasan.
Ketua RT 10 Kampung Apung, Rudi (55), mengatakan pembangunan di sekitar kawasan yang membuat kampung menjadi dataran paling rendah.
“Prosesnya ya karena pembangunan-pembangunan di sekitar kita itu kawasan industri. Dulu persawahan, nah ini juga dulu empang-empang. Karena sekelilingnya sudah pada diuruk-urukin buat kawasan industri, perumahan, jadi kampung kita ini jadi paling rendah,” jelasnya.
Bahkan, warga mendirikan rumah-rumah terapung itu dari kuburan wakaf warga asli.
“Ini kan kuburan, makam,” ujarnya sambil menunjuk genangan air.
Rudi menuturkan, sejak pertengahan 1990-an, air di wilayah itu mulai sulit surut hingga akhirnya kampung terendam sepanjang tahun.
“Dari mulai tahun 90-an tuh sudah mulai kerendam, permanen, 90 pertengahan,” ujarnya.
Ia mengenang, pada masa kecilnya di tahun 1980-an, kawasan itu masih asri dan penuh sawah. Air tanah pun masih bisa diminum langsung dari sumur.
“Air tanah dulu tahun 80 saya masih minum. Saya main lari-larian di sawah-sawah gitu kan. Ketemu sumur, saya timba. Dulu ada padasan di pinggir sumur buat wudu, saya buka, minum. Itu masih enak airnya,” kenang Rudi.
Namun kondisi itu berubah drastis saat banjir mulai rutin menggenangi kampung menjelang 1990. Air pun tak lagi surut hingga kini mencapai kedalaman dua sampai tiga meter di beberapa rumah.
“Satu rumah abis. Dua meter sampai tiga meter,” ucapnya.
Warga pun berinisiatif menguruk tanah dan membangun rumah panggung agar bisa tetap bertahan.
“Makanya usaha warga itu inisiatifnya, kalau dia punya uang lebih, mungkin rumahnya, lahannya diuruk. Kalau yang nggak mampu, cari kayu-kayu bekas. Dipanggung,” ujar Rudi.
Hal serupa disampaikan Usman (60), warga asli Kampung Apung yang sudah tinggal di kawasan itu sejak lahir. Ia masih ingat masa-masa ketika kampungnya kering dan bisa dijadikan tempat bermain anak-anak.
“Dulu mah tahun 80-an ya enak. Kita bisa lari ke sana kemari. Karena mah air semua. Itu kuburan masih kering,” katanya.

4 weeks ago
16






































