Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI menggelar sidang terhadap lima anggota nonaktif pada Senin (3/11). Sidang ini menghadirkan sejumlah ahli dan saksi.
Lima anggota DPR nonaktif itu yakni Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari NasDem, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya) dari PAN, serta Adies Kadir dari Golkar.
Salah satu ahli yakni Trubus Rahardiansyah yang merupakan ahli sosiologi. Ia sempat ditanya oleh hakim MKD, Habiburokhman, terkait pernyataan Ahmad Sahroni yang sempat ramai sebelum demo rusuh akhir Agustus.
Trubus mengatakan, pernyataan Sahroni harus dilihat dalam konteks situasi yang melatarbelakanginya. Ia menilai ucapan Sahroni bukan bentuk penghinaan ataupun ujaran kebencian.
“Apa yang disampaikan Pak Ahmad Sahroni itu merespons setting atau situasi yang melatarbelakanginya. Nah saya melihat apa yang disampaikan itu tidak menyinggung apa pun," kata Trubus di persidangan MKD DPR RI, Senin (3/11).
"Walaupun di situ ada kata tolol yang diviralkan, itu menurut saya lebih ke menyampaikan bahwa tidak mungkin DPR dibubarkan. Kita kan sistemnya bukan parlementer, tapi nonparlementer,” tambah dia.
Trubus menyoroti banyaknya pihak yang sengaja menggiring opini publik keluar dari konteks aslinya melalui manipulasi informasi di media sosial.
“Ini kan sebenarnya arahnya ke sana. Tapi kemudian dipahami (berbeda) karena itu tadi, manipulasi. Makanya di pasal 35 UU ITE itu kan dilarang orang memanipulasi dan mengubah-ubah itu," kata Trubus.
"Jadi apa yang disampaikan Pak Ahmad Sahroni bukan suatu ucapan kriminal ataupun kebencian,” tambahnya.
Penyebar Hoaks Bisa Dilacak
Ahli lainnya, Gustia Aju Dewi, yang merupakan pakar analisis perilaku menilai banyak potongan-potongan informasi di media sosial yang digunakan untuk membentuk persepsi publik yang keliru.
“Zaman sekarang perang bukan lagi dengan senjata api, tapi senjatanya informasi yang diselewengkan, bisa dipotong. Jadi 90% kebenaran itu bukan kebenaran, karena ada 10% yang tidak dimasukkan sehingga informasi tersebut menjadi disinformasi,” kata Gustia Aju.
Gustia menuturkan, para penyebar disinformasi, fitnah dan kebencian sebenarnya dapat dilacak dengan teknologi digital forensik, termasuk untuk mengetahui siapa yang pertama kali menggulirkan narasi manipulatif di media sosial.
“Siapa yang menggulirkan sampai sekarang belum terungkap. Sebenarnya dengan teknologi AI itu mudah dilakukan digital forensik, Yang Mulia, untuk ditelusuri siapa yang pertama kali mengeluarkan narasi-narasi DFK,” terangnya.

3 weeks ago
8






































