Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengungkapkan peredaran rokok ilegal kian masif di tengah masyarakat. Peredaran rokok ilegal ini disebut mengganggu kinerja industri hasil tembakau (IHT).
Para pelaku usaha ilegal ini, kata dia, tidak membayar cukai hasil tembakau (CHT). Sehingga merugikan bagi industri yang legal.
“Saat ini, rokok ilegal sangat masif di masyarakat, hal ini merugikan perusahaan IHT ilegal yang sudah patuh dengan kebijakan cukai hasil tembakau,” tutur Faisol dalam gelaran diskusi Quo Vadis Perlindungan IHT oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (29/9).
Dalam data Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang diolah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang dipaparkan Faisol, peredaran rokok ilegal terus meningkat.
Pada 2019 berada di angka 3,03 persen, naik jadi 4,86 persen, 2021 menjadi 4,9 persen, 2022 5,5 persen dan 2023 sebanyak 6,9 persen dengan pelanggaran tertinggi adalah polos tanpa pita cukai dari jenis SKM.
Dalam data itu juga dipaparkan, top 5 dugaan pelanggaran rokok ilegal pada 2024 yaitu sebanyak 95,86 persen rokok polos, 2,13 persen rokok palsu, 0,85 persen rokok ilegal saltuk, 0,36 persen bekas dan 0, sekian persen salson.
Lalu top 5 pelanggaran rokok jenis Hasil Tembakau (HS) adalah Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebesar 75,3 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) 20,6 persen, tembakau iris 0,6 persen, rokok elektrik 0,7 persen dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) 0,2 persen.
Lebih lanjut, Faisol menjelaskan, isu yang menjadi sorotan ekosistem pertembakauan Indonesia adalah kebijakan nonfiskal pada Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Nomor 17 Tentang Kesehatan.
“Terdapat beberapa peraturan yang sudah berlaku dan beberapa ketentuan lainnya yang kemungkinan akan berlaku di tahun depan. Jadi selain masalah cukai, juga ada masalah rokok ilegal, juga ada masalah kesehatan,” jelasnya.