Kutipan ini berasal dari seorang siswi SMP di Jakarta yang pernah mengalami pelecehan oleh gurunya sendiri. Ia butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya berani menceritakan peristiwa itu pada orang tuanya. Sayangnya, ketika kasus dibawa ke pihak sekolah, respons yang muncul bukan perlindungan, melainkan kekhawatiran soal nama baik lembaga.
Kisah itu bukan satu-satunya. Seorang guru ngaji di Tebet, Jakarta Selatan, ditangkap tahun lalu karena diduga mencabuli murid-muridnya. Di Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara, seorang guru SD dilaporkan mencabuli belasan murid. Sementara di Malang, seorang dosen sebuah perguruan tinggi negeri dilaporkan mahasiswinya atas dugaan pelecehan seksual.
Sekolah, pesantren, dan kampus--tempat yang seharusnya aman bagi anak untuk tumbuh--justru menjadi lokasi terjadinya pelanggaran serius terhadap moral dan martabat manusia.
Data pun mengonfirmasi keresahan ini. Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2024 mencatat 330 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan ratusan kasus dilaporkan di lingkungan pendidikan. KPAI mencatat, hanya dalam Januari–Agustus 2023, ada 861 kasus kekerasan di sekolah, hampir separuhnya berupa kekerasan seksual. Itu artinya, setiap hari ada dua hingga tiga anak sekolah menjadi korban.
Kasus pelecehan seksual di dunia pendidikan bukan kebetulan. Ada faktor-faktor mendasar yang terus berulang:
1. Relasi kuasa yang timpang.
Guru, ustaz, dosen, atau pembina punya posisi dominan. Murid atau mahasiswa sering merasa tak berdaya menolak, apalagi bila ancamannya berupa nilai, hukuman, atau reputasi sosial.
Psikolog anak Seto Mulyadi (Kak Seto) menegaskan, “Ketika relasi kuasa terlalu berat sebelah, anak kehilangan keberanian untuk melawan. Rasa hormat pada guru kadang dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan tindakan menyimpang.”
2. Relasi sosial yang kaku.
Sejak kecil, anak diajarkan untuk patuh pada guru, tapi jarang diajarkan berani berkata “tidak” ketika merasa tidak nyaman. Celah ini sering dimanfaatkan pelaku.
3. Budaya diam dan stigma.
Banyak korban memilih bungkam karena takut disalahkan, dianggap mempermalukan keluarga, atau merusak nama baik sekolah.
Menurut Komisioner KPAI, Ai Maryati Shalihah, “Korban sering kali merasa sendirian. Alih-alih dilindungi, mereka justru distigma. Inilah yang membuat kasus pelecehan di sekolah sering tidak terungkap.”
4. Minimnya pendidikan seksualitas dan consent.
Topik tubuh, batasan, dan persetujuan masih dianggap tabu. Akibatnya, banyak anak bahkan tidak sadar dirinya dilecehkan. Batas interaksi antara guru-murid dan murid-murid pada remaja ke atas harus secara disiplin diterapkan. Apalagi dalam agama Islam batasan pergaulan antara lawan jenis sudah sangat ketat ditetapkan.
5. Lemahnya sistem perlindungan.
Meski ada aturan, banyak sekolah dan kampus menutupi kasus demi menjaga citra. Laporan korban sering dipetieskan, sementara pelaku tetap beraktivitas seperti biasa.
<...