Penjelasan itu disampaikan menanggapi pertanyaan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Benny K. Harman, mengenai urgensi revisi aturan tersebut.
“Biasanya usul perubahan disertai dengan alasannya. Saya belum menangkap apa alasannya, kecuali ada notasi putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Tapi yang lain-lain saya tidak menemukan alasannya itu,” ucap Benny dalam Rapat Pleno Baleg di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (30/9).
Merespons pertanyaan tersebut, Misbakhun menyatakan hasil judicial review terhadap Undang-Undang PPSK bersifat kumulatif terbuka. Katanya, terdapat dua gugatan di MK terhadap undang-undang tersebut.
Gugatan pertama terkait pasal mengenai kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang kemudian diminta untuk dibatalkan sepenuhnya dan diformulasikan ulang oleh MK.
Kemudian gugatan kedua menyangkut kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam penyusunan anggarannya. Selama ini, mekanisme penyusunan anggaran dilakukan dengan cara LPS melalui Dewan Komisioner mengajukan rancangan anggaran kepada Menteri Keuangan, kemudian disampaikan kembali ke LPS, dan akhirnya mendapat persetujuan DPR. Namun, mekanisme tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Misbakhun memaparkan, MK menilai bahwa mekanisme penyusunan anggaran harus disamakan dengan lembaga lain dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang anggotanya terdiri dari Bank Indonesia, OJK, dan LPS dengan koordinator Menteri Keuangan.
“Maka dengan klausul judicial review tersebut diminta untuk disampaikan mekanismenya tanpa melalui proses dengan Menteri Keuangan. Itu pak (alasannya),” kata Misbakhun dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, Misbakhun menjelaskan alasan lain. Disebutkan bahwa pada saat penyusunan Undang-Undang P2SK sebelumnya, ada beberapa hal yang terlewat, salah satunya mengenai PT Jasa Raharja.
Kata Misbakhun, sejak Undang-Undang tahun 1964, Jasa Raharja menghadapi masalah struktural dan fundamental mengenai tanggung jawab atas kecelakaan yang tidak sepenuhnya berasal dari pembayar premi. Meskipun demikian, perusahaan tetap diwajibkan bertanggung jawab terhadap semua jenis kecelakaan.
Mandat tersebut tidak dapat sepenuhnya dijalankan karena keterbatasan dasar hukum, sehingga menimbulkan risiko dari aparat penegak hukum.
“Maka kita anggap pada saat membahas Undang-Undang P2SK di periode awal, kita mohon maaf itu terlewatkan. Karena kita membahas secara omnibus law pada saat itu,” tambah Misbakhun.
Dalam praktiknya, ketika Jasa Raharja menjalankan fungsinya, sering kali mereka dipertanyakan oleh APH mengenai kebijakan yang diambil, sehingga memerlukan proses penjelasan panjang.
“Selama ini, Jasa Raharja menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Karena tidak dilandasi oleh hukum yang kuat, maka mereka sering ditanya oleh APH, kenapa kamu ngambil policy ini? Harus dijelaskan dengan proses yang lama, dan mereka harus ditanya dulu oleh APH,” lanjut Misbakhun.
Selain itu, Misbakhun menyampaikan perkembangan aset digital, khususnya aset Read Entire Article