Mahasiswa baru selalu dihadapkan pada satu pilihan penting: mau jadi penonton pasif yang hanya melintas di lorong kampus, atau ikut turun tangan menjadi aktor yang menggerakkan. Kalau organisasi terlihat bobrok, masuklah dan benahi dari dalam. Sebab jika semua memilih diam, kematian organisasi mahasiswa tinggal soal waktu.
Setiap awal semester, ribuan mahasiswa baru datang dengan antusiasme. Ironisnya, semakin sedikit yang tertarik melibatkan diri dalam organisasi. Padahal, sejak lama organisasi mahasiswa dikenal sebagai ruang paling nyata untuk belajar memimpin, menguji gagasan, dan merasakan denyut sosial kampus.
Fenomena ini makin terasa jelas. Tak jarang kegiatan harus dibatalkan karena minim peserta. Forum diskusi yang dulu jadi arena intelektual kini kalah pamor dengan obrolan santai di kafe atau linimasa media sosial. Organisasi mahasiswa seolah hanya jadi papan nama, dipajang di brosur penerimaan mahasiswa baru, tanpa benar-benar hidup.
Namun, ini bukan sepenuhnya salah mahasiswa baru. Organisasi kerap kehilangan relevansi. Rapat panjang tanpa arah, program kerja yang terjebak dalam seremoni, hingga budaya senioritas yang bikin jengah—semua itu memperlebar jarak dengan generasi baru. Akhirnya, organisasi dikelola wajah-wajah yang sama, sementara mayoritas mahasiswa memilih menjauh.
Padahal, di luar ruang kuliah, organisasi adalah universitas kedua. Di sinilah mahasiswa ditempa: belajar memimpin, mengelola konflik, membangun jaringan, dan merasakan dinamika kolektif. Dunia kerja tidak hanya menilai IPK, tetapi juga karakter, komunikasi, dan daya juang hal-hal yang justru ditempa dalam ruang organisasi.
Maba Jangan Diam, Organisasi Butuh Gerakanmu
Karena itu, organisasi mahasiswa perlu bertransformasi. Ia tak bisa hanya berhenti pada administrasi atau seremoni belaka. Organisasi harus berani membaca zaman, mengangkat isu sosial, beradaptasi dengan perkembangan digital, dan membuka diri pada kolaborasi lintas disiplin. Tanpa itu, organisasi hanya akan jadi catatan sejarah—bukan ruang hidup yang menghidupi.
Pertanyaan besarnya: jika mahasiswa baru terus menjauh, siapa yang akan menjaga ruang kritis kampus? Siapa yang akan melanjutkan tradisi mahasiswa sebagai agen perubahan? Jangan sampai organisasi mahasiswa tinggal tersisa di arsip laporan, tanpa lagi ada denyut yang menggerakkan.
Akhirnya, hidup-matinya organisasi ditentukan oleh pilihan mahasiswanya. Diam berarti membiarkan ruang kolektif ini padam; terlibat berarti memberi napas baru pada tradisi intelektual dan pergerakan mahasiswa.