"Jadi gini setiap kebijakan kan ada pro kontra ada yang suka dan tidak suka. Kan saya sudah hitung alasannya kenapa, karena saya nggak mau industri (rokok) kita mati, terus dibiarkan yang ilegal hidup," ujar Purbaya saat ditemui di Istana Negara, Jakarta, Selasa (30/9).
Menurut Purbaya, industri rokok menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Sehingga, kebijakan dipastikan tetap seimbang antara industri rokok dengan sektor kesehatan.
"Kan masyarakat butuh penghidupan kan. Harus ada keseimbangan kebijakan lah saya bilang," jelas dia.
"Intinya, saya belum lihat ada program bertahap yang ciptakan lapangan kerja yang gantikan orang di industri rokok kalau itu tutup semua. Dia desain aja kebijakannya kalau mau nanti saya ikutin, kalau bagus," tambahnya.
Penerimaan Cukai Hasil Tembakau 2024
Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menyebut penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok lebih besar ketimbang dividen BUMN ke negara.
Selama 2024, penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 216,9 triliun. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pos Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND) alias dividen BUMN sepanjang 2024 senilai Rp 86,4 triliun.
“Kontribusi cukainya di tahun 2024 itu mencapai Rp 216,9 triliun menyerap kurang lebih 5,9 juta pekerja. Bandingkan dengan sumbangan dari BUMN kepada negara selain pajak, itu (cukai rokok) jauh di atasnya,” tutur Faisol dalam gelaran diskusi Quo Vadis Perlindungan IHT oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (29/9).
Selain sumbangan pada penerimaan negara, menurut Faisol industri hasil tembakau (IHT) juga merupakan sektor yang menyumbang devisa bagi negara melalui ekspor. Hingga akhir 2024, nilai ekspor industri tembakau mencapai USD 1,85 miliar, naik 21,71 persen dibandingkan tahun sebelumnya.