Pada saat penyelenggaraan Sidang Umum PBB, New York, Indonesia baru saja memancarkan sinyal paling kuatnya. Pidato Presiden Prabowo Subianto bukanlah sekadar retorika diplomatik; itu merupakan sebuah operasi branding negara yang canggih. Indonesia menawarkan pengakuan bersyarat kepada Israel demi kedaulatan Palestina dan menyerukan reformasi tata kelola global, Indonesia sedang memoles etalase citranya.
Janji yang ditawarkan ke dunia sangat jelas: Indonesia adalah pemimpin dari negara berkembang (Global South) yang berprinsip, juru damai yang pragmatis dan kekuatan penyeimbang yang visioner.
Namun pada saat citra Indonesia sedang dipoles hingga berkilau di panggung dunia, sebuah krisis fundamental justru sedang menggerogoti fondasi kepercayaan di rumah sendiri. Skandal kontaminasi zat haram dalam nampan makanan adalah realitas produk yang membentur keras janji yang sedang kita proyeksikan.
Di sinilah letak paradoks berbahaya itu. Bagaimana mungkin dunia, khususnya negara-negara Timur Tengah dan Teluk, akan percaya pada ambisi Indonesia sebagai pusat halal global, jika sistem jaminan halal domestik justru tampak rapuh dan sedang mengalami krisis kepercayaan?
Krisis Kepercayaan di Dalam Negeri
Respons pemerintah terhadap krisis ini, sayangnya, masih terjebak dalam apa yang dapat disebut sebagai paradoks persuasi: semakin keras upaya meyakinkan publik bahwa semua baik-baik saja dengan cara-cara tertutup, semakin besar pula kecurigaan yang tumbuh. Manuver saling lempar tanggung jawab antarlembaga, klarifikasi tanpa data terbuka dan keheningan yang terlalu lama di hari-hari awal krisis, merupakan gejala dari sistem yang tidak pernah serius berlatih menghadapi skenario terburuk.
Bagi masyarakat, di samping mereka menjadi ragu, mereka juga merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian penyelenggaraan program tersebut. Hal yang dipertaruhkan masyarakat bukan sekadar kebersihan sebuah nampan makanan, melainkan ketenangan batin: apakah anak-anak mereka benar-benar dilindungi oleh sebuah sistem yang bisa dipercaya? Di sinilah reputasi negara diuji, bukan di ruang sidang diplomatik, tetapi di meja makan sederhana rakyatnya.
Paradoks Kegagalan dan Peluang
Namun, di balik bencana reputasi, tersimpan peluang strategis. Inilah yang disebut paradoks kegagalan: bahwa kegagalan katastropik justru bisa menjadi katalis perubahan fundamental. Jika pemerintah berani mengakui celah dalam sistem halal, memperbaikinya secara transparan dan melibatkan publik dalam pengawasan, maka lingkaran kebajikan bisa terbentuk.
Di titik ini, strategi perbaikan bukanlah sekadar “mengontrol dampak kerusakan” ala hubungan masyarakat, melainkan sebuah pergeseran permainan dari negative-sum game menuju positive-sum game. Dalam permainan rugi-bersama, semua pihak kehilangan: regulator kehilangan muka, pemerintah kehilangan kredibilitas, publik kehilangan ketenangan batin. Sebaliknya, dalam positive-sum game, semua pihak berpotensi menang—publik kembali percaya, regulator memulihkan wibawa dan diplomasi halal Indonesia memiliki fondasi kokoh.
Catatan dari Forum Halal Bersama Australia–Selandia Baru
Dimensi paradoks ini semakin jelas jika dibandingkan dengan langkah strategis yang ditempuh Indonesia di luar negeri. Pada 11 Juli 2025, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menggelar Indonesia–Australia–New Zealand Halal Forum di Melbourne. Forum ini menghadirkan 15 Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN) dari Australia dan Selandia Baru, serta perwakilan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT). Fokusnya adalah saling pengakuan sertifikat halal, harmonisasi standar dan penguatan perdagangan halal. Kepala BPJPH Ahmad Haikal Hasan menegaskan bahwa halal kini menjadi keunggulan kompetitif sekaligus gaya hidup global berbasis ketertelusuran, dapat dipercaya dan transparansi.