Sebanyak 221 ribu jemaah haji Indonesia akan berangkat pada tahun 2026 dengan nilai perputaran uang mencapai sekitar Rp 17–20 triliun. Terkait besarnya pengelolaan uang jemaah itu, KPK mendorong Kementerian Haji dan Umrah untuk memperkuat transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Hal itu perlu dilakukan untuk memastikan pelayanan haji yang akuntabel dan bebas penyimpangan.
Dorongan ini disampaikan pimpinan KPK saat menerima audiensi jajaran Kementerian Haji dan Umrah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (3/10).
“Prinsipnya itu transparansi, kalau ada proses lelang, pengadaan, sebaiknya dipublikasikan saja,” ucap Ketua KPK, Setyo Budiyanto, saat audiensi tersebut.
Ia menjelaskan, bahwa keterbukaan dalam pengadaan akan memudahkan masyarakat mengawasi proses dan mencegah persoalan seperti yang terjadi pada pelaksanaan haji sebelumnya. Permasalah itu yakni tak hanya terkait kuota, melainkan juga berbagai aspek lainnya.
Dalam kesempatan itu, Menteri Haji dan Umrah, Mochamad Irfan Yusuf, menyatakan komitmennya mewujudkan layanan yang efektif, akuntabel, dan transparan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Untuk itu, kata dia, pihaknya akan menggandeng KPK dalam pencegahan potensi penyimpangan.
“Kami minta bantuan KPK untuk bisa menjalankan amanah sesuai yang diperintahkan oleh Presiden,” tutur Irfan.
Dalam forum tersebut, Kementerian Haji dan Umrah turut memaparkan sejumlah titik rawan dalam PBJ layanan haji. Di antaranya yakni potensi markup dan gratifikasi pada pengadaan gelang identitas, buku manasik, hotel, penerbangan, katering, dan transportasi.
Selain paparan PBJ, Kementerian Haji dan Umrah meminta bantuan KPK melakukan tracing terhadap sejumlah calon pejabat yang bergeser dari Kementerian Agama ke Kementerian Haji dan Umrah, untuk memitigasi potensi masalah di masa depan.
“Kami mohon bisa dipantau oleh KPK untuk clean and clear agar ke depan tidak ada masalah bagi kami,” pinta Irfan.
Adapun dengan sejumlah potensi titik rawan itu, kerugian negara pun juga dapat muncul apabila premi asuransi melebihi nilai aktuaria.
Terkait hal itu, Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, mengingatkan bahwa risiko terbesar bukan hanya kerugian negara, melainkan praktik pemberian upeti terkait kuota haji.
“Yang paling rawan itu bukan kerugiannya, tapi menerima upeti karena semua orang itu pasti ingin berangkat,” ucap Fitroh.
Ia juga mengingatkan pentingnya menghindari konflik kepentingan dan mendokumentasikan seluruh proses pengadaan sebagai bentuk antisipasi.
Dalam kesempatan itu, KPK juga menyambut baik sinergi tersebut dengan menawarkan berbagai dukungan, termasuk berbagi hasil kajian pelaksanaan haji, penguatan integritas petugas haji, dan pengawasan pelaksanaan haji 2026.
Setyo menekankan pentingnya perbaikan sistem haji yang konsisten, profesional, dan berorientasi pada kemanu...