Pada September 2025, Presiden Donald Trump kembali membuat kebijakan kontroversial dengan menaikkan biaya aplikasi visa H-1B menjadi US$100.000 untuk setiap pengajuan baru. Visa H-1B selama ini menjadi salah satu jalur utama bagi pekerja asing berketerampilan tinggi untuk bekerja di Amerika Serikat, khususnya di sektor teknologi, finansial, dan medis.
Trump mengatakan, dengan mengimplementasikan kebijakan tersebut pekerja lokal akan dilindungi dan perusahaan dipaksa untuk merekrut warga AS. Namun, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah benar langkah tersebut akan menguntungkan Amerika, atau justru menjadi bumerang bagi daya saing globalnya?
Sulit dipungkiri bahwa imigran telah memainkan peran besar dalam perekonomian Amerika Serikat, terutama di sektor teknologi dan inovasi. Data dari National Foundation for American Policy (NFAP) menunjukkan bahwa 55% dari startup di AS yang bernilai lebih dari US$1 miliar (unicorns) memiliki paling tidak satu pendiri yang lahir di luar negeri.
Laporan dari IFP, Jeremy Neufeld dan Lindsay Millike juga menemukan bahwa dari 42 perusahaan kecerdasan buatan (AI) terkemuka di AS, 60% di antaranya didirikan oleh imigran. Penelitian MIT menegaskan bahwa imigran lebih mungkin mendirikan perusahaan baru dibandingkan warga lokal, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang signifikan.
Dengan kata lain, pekerja dan pendiri asing bukanlah ancaman bagi tenaga kerja lokal, melainkan justru katalis pertumbuhan ekonomi. Membatasi akses mereka dengan hambatan finansial setinggi itu berpotensi menghambat inovasi dan memperlambat lahirnya perusahaan rintisan baru.
Perusahaan teknologi, terutama yang berbasis di Silicon Valley, sangat bergantung pada tenaga kerja asing. Data dari pemerintah AS menunjukkan bahwa 71% dari pemegang H-1B baru adalah warga India, dengan Tiongkok menyusul di posisi kedua sekitar 11,7%. Mayoritas dari mereka bekerja di bidang teknologi informasi, finansial digital (fintech), dan riset.
Fintech, merupakan salah satu sektor paling dinamis di dunia saat ini, dan banyak inovasinya digerakkan oleh talenta asing. Dengan menaikkan biaya aplikasi hingga US$100.000, perusahaan rintisan fintech atau startup kecil jelas akan kesulitan merekrut tenaga ahli dari luar negeri.
Perusahaan besar mungkin masih mampu menanggung biaya ini, tetapi startup yang menjadi motor inovasi akan terpukul keras. Hasilnya, bukan hanya lapangan kerja yang terancam berkurang, tetapi daya saing Amerika di sektor finansial digital bisa tertinggal dari negara lain yang lebih ramah pada imigran berbakat.
Kebijakan ini bisa membawa sejumlah konsekuensi negatif bagi Amerika Serikat. Sebagai contoh adalah pertumbuhan perusahaan startup yang dapat melambat karena banyak di antaranya didirikan atau dijalankan oleh imigran. Laporan dari National Foundation for American Policy (2022) mencatat bahwa dari 582 perusahaan rintisan bernilai lebih dari US$1 miliar di Amerika Serikat, 319 di antaranya (55%) memiliki paling tidak satu pendiri yang merupakan imigran, dan bila dihitung dengan eksekutif kunci, angkanya mencapai 64%. Selain itu, dampak kebijakan ini juga terdapat peningkatan potensi offshoring, di mana perusahaan memilih memindahkan operasi ke luar negeri daripada menanggung biaya tinggi untuk merekrut pekerja asing di AS, yang pada akhirnya justru menyebabkan hilangnya lapangan kerja dari dalam negeri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, perubahan kebijakan H-1B yang dilakukan Trump pada akhirnya akan lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Meskipun kebijakan ini mungkin menarik bagi pemilih yang merasa terancam oleh persaingan asing, kebijakan ini gagal mengatasi tantangan mendasar di pasar tenaga kerja AS.
Dengan menaikkan biaya pendaftaran secara drastis, Amerika Serikat berisiko menghambat perusahaan untuk mempekerjakan pekerja berkeahlian tinggi yang keahliannya mendorong inovasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka panjang, pendekatan ini melemahkan kemampuan Amerika untuk bersaing dengan negara-negara lain yang terus menerima talenta global.