Kepala Desa Sukamulya, Komar, buka suara terkait beredar kabar desa yang dipimpinnya akan segera dilelang. Hal ini buntut tanah di desa tersebut diagunkan ke bank.
Menurut Komar, total luas Desa Sukamulya sekitar 1.611 hektare. Hanya 377 hektare yang berstatus sita negara berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 1991-1992 dan terancam dilelang.
Namun hingga kini, pihak Desa belum pernah melihat bukti lain yang menguatkan penyitaan, seperti sertifikat atau akta jual beli lahan, sehingga status lahan tersebut masih belum sepenuhnya jelas.
“Di Sukamulya itu tidak semua tanah terancam dilelang. Dari 377 hektare yang masuk sita negara pun sampai sekarang kami belum melihat bukti sertifikat atau akta jual belinya, hanya ada putusan MA saja. Jadi informasi pelelangan itu belum jelas,” kata Komar seusai bertemu dengan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, di Kantor Gubernur Bale Pakuan Padjadjaran, Kota Bogor, Rabu (24/9).
Komar menjelaskan, lahan seluas 377 hektare yang disita negara itu berada dalam satu blok dan mencakup Kampung Parungsanten.
Ia menyampaikan, di kampung tersebut terdapat 17 kepala keluarga dengan sekitar 60 jiwa, area persawahan, lahan kosong, serta sebuah musala.
“Dampaknya berarti kemarin hampir tiga tahun ya kami diblokir sama Bapenda Kabupaten Bogor kami tidak bisa peralihan pajak BPH dan BPHTB. Baru satu bulan ini bisa. Itu pun harus dilakukan cek dari BPN. Ketika luasnya atau hasilnya di luar kawasan plot sitaan BI baru bisa dilakukan, kalau di dalam tidak," jelasnya.
Komar pun berharap tindak lanjut dari pertemuan dengan Dedi Mulyadi bisa membawa solusi untuk warga di desanya.
“Pak Gubernur tadi menyampaikan akan membantu warga dengan menyiapkan pengacara untuk menggugat supaya hak-hak masyarakat bisa kembali,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Desa Sukaharja, Atikah, memberikan keterangan serupa. Ia menegaskan, luas wilayah Desa Sukaharja sekitar 440 hektare, dan lahan yang disita negara merupakan area perkebunan, bukan permukiman.
“Kalau di Sukaharja itu bukan seluruh desa yang disita, tapi hanya 440 hektare. Jadi tidak benar kalau satu desa mau dilelang. Itu pun statusnya masih terancam, belum ada pelelangan,” kata Atikah.
Atikah juga meluruskan kabar yang menyebut kepala desa ikut melelang lahan. Menurutnya, informasi itu tidak tepat dan ia berharap persoalan ini bisa segera dituntaskan.
“Tidak, satu desa tidak akan dilelang dan kepala desa tidak ada yang melelangkannya. Statusnya juga sampai saat ini masih berupa terancam dilelang. Alhamdulillah sudah bertemu dengan Pak Gubernur, mudah-mudahan ada solusi yang terbaik,” pungkasnya.
Kasus ini bermula pada 30 Desember 1983, ketika Lee Darmawan Chian Kiat, pemilik Bank Perkembangan Asia, memberikan pinjaman sebesar Rp 850 juta kepada Mohamad Madrawi, Direktur PT Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu. Pinjaman itu dijamin dengan tanah warga desa setempat.
Pada 1991, Mahkamah Agung melalui putusan nomor 1622/K/PID/1991 memutus perkara korupsi yang menjerat Lee. Salah satu putusannya adalah penyitaan seluruh aset, termasuk lahan yang dijadikan agunan. Luas lahan dalam putusan itu tercatat 445 hektare.
Sekretaris Desa Sukaharja, Adi Purwanto, membenarkan wilayah desanya termasuk yang diagunkan dan masuk daftar sitaan.
“Kasus ini sudah terlalu lama bergulir, sehingga berdampak pada pengurusan administrasi pertanahan di wilayah kami,” kata Adi saat berbincang dengan kumparan, Senin (22/9).