Indonesia kerap berbangga sebagai salah satu pemasok awak kapal terbesar di dunia. Namun di balik kebanggaan itu, tersembunyi kenyataan getir: sistem hukum yang mengatur manning agent perusahaan penyalur awak kapal masih berdiri di atas fondasi yang rapuh.
Regulasi yang tumpang tindih, lemahnya pengawasan, serta kebijakan yang terfragmentasi membuat pelaut Indonesia kerap diperlakukan sebagai “komoditas global”, bukan profesional maritim yang sejajar dengan negara lain.
Padahal, dalam industri pelayaran internasional yang bernilai miliaran dolar, manning agent seharusnya berperan strategis menjamin kualitas, perlindungan, dan kepastian hukum bagi awak kapal. Namun di Indonesia, fungsi itu sering kali tereduksi menjadi sekadar biro penyalur tenaga kerja. Dampaknya bukan hanya menurunkan martabat pelaut, tapi juga merusak kredibilitas Indonesia di mata dunia maritim.
Regulasi Tumpang Tindih, Akuntabilitas Kabur
Hingga kini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang menjadi lex specialis untuk mengatur manning agent. Tiga lembaga besar Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) masing-masing memiliki mandat berbeda tanpa koordinasi yang jelas.
Kemenhub mengatur aspek perizinan dan keselamatan; Kemnaker mengurusi hubungan kerja; sementara BP2MI fokus pada pekerja migran. Akibatnya, tumpang tindih kewenangan tak terhindarkan. Satu manning agent bahkan bisa berada di bawah tiga rezim administratif berbeda hanya untuk bisa beroperasi secara sah.
Dalam kondisi seperti ini, akuntabilitas mudah hilang. Ketika pelaut mengalami kecelakaan atau eksploitasi di luar negeri, tak ada satu pun instansi yang mau bertanggung jawab penuh.
MLC 2006: Ratifikasi yang Setengah Hati
Enam tahun setelah Indonesia meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Banyak kontrak kerja pelaut belum memenuhi standar konvensi, mulai dari jam kerja, upah layak, hingga hak repatriasi.
Perlindungan sosial sering kali berhenti di atas kertas. Ketika terjadi kecelakaan, kompensasi dan asuransi sulit diakses. Sanksi bagi pelanggaran pun umumnya bersifat administratif, jarang menyentuh aspek pidana atau tanggung jawab korporasi.
Indonesia tampak “patuh secara formal”, tetapi “abai secara substansial” dalam melindungi warganya yang berjuang di laut lepas.
Kekosongan Hukum: Ship Management Tak Diakui
Dalam praktik internasional, perusahaan ship management mengelola seluruh aspek operasional kapal termasuk awaknya. Namun regulasi Indonesia belum mengakui entitas ini secara hukum.
Akibatnya, batas tanggung jawab antara shipowner, ship manager, dan Read Entire Article

4 days ago
18







































