Pelaku industri mebel dan kerajinan Indonesia mengatakan tengah menghadapi tekanan berat akibat kombinasi pelemahan nilai tukar rupiah dan kebijakan tarif baru Amerika Serikat. Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, menyampaikan bahwa kondisi ini menempatkan sektor padat karya yang menyerap lebih dari 2 juta pekerja langsung tersebut berada di "tepi jurang" jika pemerintah tidak segera mengambil langkah serius.
Menurutnya, pelemahan rupiah yang menembus Rp 16.700–16.800 per dolar AS pada akhir September memang meningkatkan penerimaan ekspor dalam rupiah. Namun, di sisi lain biaya input industri yang berdenominasi dolar, mulai dari bahan kimia, kain, sparepart, hingga ongkos logistik, justru kian membebani pelaku usaha. Situasi semakin diperburuk dengan kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat yang berlaku mulai 1 Oktober, yakni 50 persen untuk produk kitchen cabinet & vanity dan 30 persen untuk upholstered furniture.
“Padahal, Amerika merupakan pasar utama dengan porsi sekitar 54 persen ekspor furnitur dan 44 persen ekspor kerajinan kita. Artinya, industri saat ini menghadapi krisis ganda, baik dari sisi kurs maupun pasar ekspor,” kata Abdul dalam keterangannya, Rabu (1/10).
HIMKI mencatat, posisi Indonesia dalam pasar furnitur Amerika Serikat masih jauh tertinggal dibanding negara pesaing. Berdasarkan data TradeMap, pada tahun 2024 pangsa furnitur kayu Indonesia untuk kategori kitchen furniture hanya sebesar 2,3 persen atau senilai USD 64,6 juta, berada di peringkat kedelapan. Angka ini jauh di bawah Vietnam yang mencapai 39,7 persen (USD 1,12 miliar) dan Kanada 15,4 persen (USD 436 juta).
Kondisi serupa juga terjadi pada produk upholstered furniture. Indonesia hanya menempati peringkat kedelapan dengan pangsa 1,1 persen senilai USD 93,9 juta. Sementara Vietnam dan Tiongkok jauh mendominasi dengan pangsa masing-masing 45,8 persen (USD 3,7 miliar) dan 26,9 persen (USD 2,19 miliar).
“Data ini menunjukkan bahwa posisi Indonesia di pasar global sudah terhimpit sejak awal. Tanpa dukungan negara, kita akan semakin terpinggirkan,” jelasnya.
Dia menekankan bahwa industri mebel dan kerajinan telah lama menjadi andalan sebagai sektor padat karya yang tidak hanya menyumbang devisa, tetapi juga menghidupi keluarga buruh pabrik, perajin desa, hingga tukang ukir di berbagai daerah. Namun, menurutnya, dukungan pemerintah masih minim dan parsial. “Jika pemerintah diam, sama artinya membiarkan sektor ini runtuh perlahan. Kami tidak meminta perlakuan istimewa, hanya keberpihakan yang nyata,” ujarnya.
Tiga Tuntutan Konkret HIMKI
Dalam pernyataannya, HIMKI mengajukan tiga tuntutan konkret agar industri tetap bertahan. Pertama, negara diminta hadir dalam pameran global. Abdul Sobur mencontohkan Vietnam, Turki, dan Malaysia yang didukung penuh pemerintahnya dalam membuka paviliun di Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, India, hingga Afrika.
“Indonesia jangan hanya bergantung pada swasta dengan stan seadanya. Pemerintah harus berani menjadi sponsor utama paviliun nasional di pasar potensial, karena ini bukan beban, melainkan investasi untuk membuka pasar baru,” jelasnya.
Kedua, HIMK meminta pemerintah menghapus regulasi yang menghambat. Selama ini, pelaku usaha dibebani aturan tumpang tindih, mulai dari sertifikasi SVLK yang berlapis, karantina berulang, hingga syarat ekspor yang saling bertentangan antar kementerian.
Ketiga, HIMKI meminta pemerintah menambah Read Entire Article