Golkar dilahirkan sebagai instrumen politik pemerintah. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia.
"Dalam sejarah Partai Golkar ya sejak Golkar lahir 20 Oktober 1964 lewat Sekber, sampai dengan pemilu 2024, nggak ada sejarah Ketum Golkar itu jadi presiden. Belum ada. Karena memang Golkar itu dilahirkan untuk menjadi instrumen politik pemerintah,” ucap Bahlil di Kantor DPP Golkar, Jakarta Barat pada Sabtu (3/10).
Adapun Presiden Soeharto posisinya merupakan Pembina di Partai Golkar. Dia belum pernah menjabat Ketum Golkar.
Namun demikian, menurut Bahlil, siapa pun presidennya, Golkar tetap harus berada di dalam kabinet.
“Tapi kita itu harus seperti Teh Sosro. Apa pun makanannya, minumannya Teh Sosro. Artinya, siapa pun presidennya, anggota kabinetnya harus dari Golkar. Karena karya-kekaryaan itu di situ. Esensinya di sana,” ucap Bahlil.
Bahlil pun melanjutkan, tak ada sejarahnya Golkar menjadi oposisi. Menurutnya, Ketum Golkar yang berani menjadi oposisi itu namanya uji nyali.
“Kita nggak punya budaya oposisi. Begitu Ketua Umum Golkar mau oposisi, ya lewat barang itu, tunggu hari aja. Dan sudah terjadi berkali-kali,” ujar Bahlil.
“Coba, coba aja coba. Uji nyali. Nggak bisa, bos. Mau uji nyali? Nggak bisa, bos. Saya pikir kalau persoalan nyali ya, saya nggak terlalu hebat, tapi bisa lah diuji. Tapi nyali yang harus terukur,” tambahnya.
Bahlil pun menegaskan bahwa Golkar merupakan instrumen politik pemerintah untuk menggapai cita-cita bangsa.
“Makanya sejarah ini penting saya sampaikan, bahwa Golkar ini dilahirkan untuk menjadi instrumen politik pemerintah dalam rangka mewujudkan cita-cita proklamasi yang ada pada Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Itu,” ucap Bahlil.
Lebih lanjut, Bahlil menyebut bahwa tolok ukur keberhasilan Golkar adalah kursi di parlemen bertambah. Bila tidak, maka Golkar gagal.
“Jadi KPI seorang Ketua Umum, Ketua DPD 1, Ketua DPD 2 itu adalah bagaimana menaikkan kursi. Karena pileg itu adalah pemilihan legislatif. Beda pileg dengan pilkada,” ucap Bahlil.
“Beda pileg dengan pilpres. Jadi kalau ada Ketua Umum termasuk saya besok kalau saya tidak bisa berhasil dan teman-teman pengurus tidak bisa mengangkat suara partai dari 102 ke 102.5 atau 103, ya udah jangan banyak omong kosong. Gagal itu namanya,” tambahnya.
Bahlil pun mengarahkan seluruh kadernya untuk terus menyongsong kemenangan.
“Tetapi kita kan partai yang pingin berkuasa. Pilkada, pileg, pilpres pun harus kita menyosong untuk meraih kemenangan. Bahwa kita koalisi atau kita sendiri tergantung peta politik,” tandas Bahlil.