Tahun 2025 ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta menganggarkan pengelolaan sampah sekitar Rp25 miliar. Jumlah ini telah mengambil porsi hampir 50 persen dari total anggaran yang dimiliki DLH Kota Yogya sekitar Rp50 miliar.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah DLH Kota Yogyakarta, Haryoko, menyebut anggaran tersebut turun signifikan dibandingkan anggaran DLH Kota Yogya pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp70 miliar.
“Sekarang anggarannya malah efisiensi. Kalau dulu Rp70 miliar, tahun ini jadi Rp50 miliar. Dari total itu, khusus pengolahan sampah sekitar Rp25 miliar,” ujarnya saat ditemui Pandangan Jogja, Rabu (24/9).
Menurut Haryoko, sebagian besar anggaran tahun ini dipakai untuk mendukung operasional tenaga outsourcing, sosialisasi, dan program berjalan. Tidak ada belanja besar untuk investasi mesin atau peralatan baru sebagaimana tahun lalu.
“Tahun kemarin banyak untuk pembelian mesin-mesin. Tahun ini paling besar di SDM. Karena pengolahan sampah itu butuh proses, tidak bisa selesai dalam waktu singkat,” katanya.
Kepala DLH Kota Yogyakarta, Rajwan Taufik, menambahkan, anggaran tahun sebelumnya memang banyak terserap untuk investasi peralatan. Dengan keterbatasan anggaran pada 2025, DLH berupaya menyeimbangkan kapasitas alat dengan timbulan sampah yang fluktuatif.
“Kemarin banyak untuk membeli peralatan. Saat ini prosesnya lebih ke bagaimana alat yang ada bisa bekerja maksimal menyeimbangkan in dan out-nya,” ucap Rajwan.
Sementara itu, Ketua Pansus Raperda Pajak dan Retribusi Daerah DPRD Kota Yogyakarta, Krisnadi Setyawan, mengatakan bahwa tahun lalu total biaya pengelolaan sampah di DLH Kota Yogya mencapai Rp70 miliar yang berasal dari APBD Kota Yogya dan Dana Keistimewaan DIY.
“Sebelum penutupan TPA Piyungan, pada 2023 biayanya sekitar Rp31 miliar. Setelah desentralisasi dan Piyungan ditutup, pada 2024 biayanya naik jadi Rp70 miliar dari APBD dan Dana Keistimewaan,” ujar Krisnadi ditemui Pandangan Jogja, Selasa (23/9).
Krisnadi menjelaskan lonjakan biaya dipicu metode pengolahan baru yang membutuhkan biaya lebih besar.
“Kalau dibikin RDF, biayanya Rp1,1 juta per ton. Kalau ke mitra swasta Rp480 ribu, insinerator Rp500 ribu per ton. Sedangkan dulu, ketika dibuang ke Piyungan, ongkosnya hanya Rp24 ribu per ton,” ujarnya.