Ledakan bom rakitan di SMAN 72 Jakarta itu memang bikin kita kaget. Tapi ada yang lebih bikin kening berkerut, pejabat kita langsung menuding PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) memberikan pengaruh buruk sehingga harus dikontrol lebih serius. Hanya dalam hitungan jam, narasi "game memicu kekerasan" meluncur deras, tanpa dasar empiris, tanpa menunggu hasil investigasi profesional. Kita kembali menyaksikan kebiasaan yang sudah dianggap lazim, yaitu menjadikan teknolog sebagai kambing hitam, sementara akar masalahnya luput dibicarakan.
Di hedonesia ibarat kata begini, jika ada seorang pelajar menyelepet temannya dengan katapel, maka yang dibahas adalah, bahaya bawa katapel ke sekolah, lalu diterbitkanlah peraturan dilarang membawa katapel ke sekolah. Tak ada yang berusaha mendalami, kenapa seorang pelajar itu tega membidik temannya. apa yang mempengaruhinya sehingga melakukan tindakan tersebut. Tak ada yang peduli jika ternyata pelajar yang bawa katapel itu kerap mengalami perundungan di sekolah. Tak ada yang memahami bahwa hari di saat ia dianggap kriminal merupakan hari perlawanannya terhadap para pelaku bully.
Yang menarik dari isu ledakan bom dan PUBG ini adalah, penolakan dari Korea Selatan. Kita tahu, Korea Selatan adalah negara yang industri gimnya paling besar dan paling maju riset literasi digitalnya. Kementerian Kebudayaan Korea secara terbuka mengkritik pengaitan insiden SMAN 72 dengan PUBG. Mereka bilang, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut. Bahkan pemerintah Korsel sempat berencana menyampaikan keberatan diplomatik kepada Indonesia. Sikap ini jelas, narasi pejabat negara Indonesia dianggap terburu-buru. Menghubungkan kriminalitas dengan game dianggap tidak bertanggung jawab dan berbahaya bagi persepsi publik.
Para pakar dan pelaku industri game Korea juga mempertanyakan logika yang dipakai. PUBG dimainkan ratusan juta orang di seluruh dunia, termasuk di Korea, tapi tidak ada yang bilang game ini meningkatkan kecenderungan kriminal. Menyimpulkan satu kejadian ekstrem sebagai akibat langsung dari game populer, sama saja menyederhanakan realitas kompleks menjadi penjelasan instan yang memang menenangkan, tapi jelas-jelas menyesatkan.
Padahal sumber masalahnya kemungkinan besar tidak berada di layar ponsel, melainkan di lingkungan sosial yang jauh lebih dekat, yaitu sekolah yang tidak memberikan rasa aman, kasus perundungan yang dibiarkan, pengawasan yang lemah, dan sistem pendidikan yang tidak responsif terhadap masalah psikologis remaja.
Anak kelas XI sampai bisa merakit bom itu tidak ujug-ujug muncul dari ruang hampa. Ia adalah produk dari ekosistem yang mungkin membiarkan rasa frustrasi, tekanan, atau konflik yang dibiarkan membusuk tanpa ada yang mau turun tangan. Dalam konteks ini, anak adalah korban dari lingkungan yang tidak aman sehingga memicu dendam.
Di hedonesia, pola pengalihan masalah seperti ini sudah berulang terlalu sering: tawuran dikaitkan dengan media sosial, kekerasan dilempar ke game, penyimpangan perilaku disalahkan ke internet. Ini bukan hanya dangkal secara analisis, tapi juga membahayakan. Persepsi publik jadi terarah ke sasaran yang salah. Masyarakat jadi latah menyalahkan teknologi, sementara semua variabel sistem dan sosial terabaikan dari perhatian dan percakapan.
Korea Selatan justru menunjukkan pendekatan yang lebih waras. Negara itu punya tingkat penggunaan game yang sangat tinggi, yaitu lebih dari 80% remajanya aktif bermain game, tetapi tidak pernah menempatkan PUBG sebagai ancaman nasional. Tidak ada regulasi khusus yang menyasar game itu, dan tidak ada kajian ilmiah yang menyimpulkan korelasi sebab-akibat antara PUBG dan kriminalitas. Bahkan, akademisi Korea mengkritik konsep "kecanduan game" yang sering dipakai tanpa metodologi kuat. Kalau negara yang riset literasi digitalnya sudah matang saja tidak melihat game sebagai penyebab kriminalitas, kenapa kita di Indonesia kerap khawatir?
Pernyataan pejabat negara itu penting, lho. Ia membentuk opini publik dan memengaruhi arah kebijakan. Begitu pejabat menghubungkan ledakan dengan game, pembahasan mengenai akar masalah langsung bergeser. Alih-alih membicarakan keamanan sekolah, kesehatan mental remaja, kapasitas guru mendeteksi risiko, atau sistem anti-perundungan, masyarakat diseret ke perdebatan soal pelarangan aplikasi. Ini namanya distraksi kebijakan yang sangat berbahaya.

1 week ago
23

,x_140,y_26/01kax7hxp9gssg76ng2npxjbe4.jpg)
,x_140,y_26/01kax76yr9hjr5fbw2c24n1n5g.jpg)
,x_140,y_26/01kax6rwg34neek8ya75cbpsz1.jpg)



































