Selama sepekan penuh suatu peristiwa budaya digelar di pelabuhan Kota Cirebon. Di area gudang-gudang tua, Festival Komunitas Seni Media digelar Kementerian Kebudayaan sebagai festival gagasan dan teknologi budaya. Ramainya pengunjung menandakan akses terhadap praktik seni berbasis teknologi kini diperluas tidak hanya di kota-kota besar utama.
Ruang karya seniman Made Casta dari Cirebon dan M. Hafiz Maha mencuri perhatian. Judul karya dua seniman lintas generasi ini–Kosmik Ruawatan Astabrata–merupakan instalasi interaktif perpaduan lukisan tentang kebijaksanaan dalam kepemimpinan Jawa, karya video, dan realitas berimbuh (augmented reality/AR).
Setahun pemerintahan berjalan, ada sesuatu yang patut diapresiasi dari sektor kebudayaan. Diam-diam sebuah "mesin" baru mulai berputar.
“Mesin” ini membuat budaya lebih dekat dengan generasi masa kini. Dari 3D modeling hingga AR, budaya Indonesia kini perlahan hidup di ruang digital.
Menurut data capaian Kementerian Kebudayaan (Oktober 2025), sudah lebih dari 4.300 data aset budaya yang terhimpun dan terdigitalisasi untuk kemudian dapat dimonetasi masyarakat. Ada juga program pengembangan kekayaan intelektual (intellectual property/IP) berbasis budaya Nusantara yang melibatkan sejumlah studio gim serta studio animasi.
Sebelum cerai menjadi dua kementerian, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2024 mencatat nilai tambah ekonomi kreatif Rp1.415 triliun dan ekspor USD 24,3 miliar.
Tapi, 70% masih didominasi fesyen, kuliner, dan kriya. Porsi konten digital seperti film, musik, gim, animasi masih kecil. Padahal, inilah sektor yang mendefinisikan kekuatan baru di era digital.
Kini, upaya menempatkan budaya di pusaran ekonomi digital menjadi lebih terarah. Tapi pertanyaannya, apakah kita sedang membangun ekosistem ekonomi budaya yang berpengaruh secara global, atau baru sekadar mendigitalisasi aset budaya?
Di titik ini, digitalisasi budaya bukan lagi semata proyek teknologi, tetapi bagian dari dinamika ekonomi politik global. Dalam kacamata liberalisme, negara yang mampu membuka akses budaya ke pasar global akan memperoleh keuntungan ekonomi dan diplomatik.
K-content Korea Selatan (Korsel) membuktikan, ketika narasi budaya beredar lintas negara, mereka berubah menjadi komoditas, investasi, dan legitimasi global. Indonesia berada di fase awal menuju logika ini—mengubah warisan budaya menjadi aset yang bekerja di pasar internasional.
Cara Asia Monetisasi Budaya
Digitalisasi budaya bukan sekedar pengalihwahanaan warisan, melainkan upaya menghidupkan momentum ekonomi dan pengaruh global. Namun, tanpa kerangka cultural data governance, pembiayaan IP yang berkelanjutan, dan orkestrasi lintas lembaga, digitalisasi hanya menjadi katalog, bukan menjadi katalis.
Kita dapat menyoroti bagaimana Korea Selatan mampu monetisasi aset budaya menjadi ekspor, pengaruh, dan diplomasi global.
Korsel menjadi cerita terbaik tentang bagaimana budaya bisa menjadi strategi ekonomi dan geopolitik. Melalui lembaga seperti Korea Creative Content Agency dan strategi nasional Digital New Deal, Korsel menggabungkan pembiayaan konten, riset, dan diplomasi budaya.
Dilansir dari laman resmi pemerintah Korsel, hasilnya konkret. Ekspor K-content mencapai USD 13,2 miliar pada 2022, melampaui ekspor produk rumah tangga besar seperti mobil atau obat. Bahkan, Netflix berkomitmen investasi USD 2,5 miliar untuk produksi konten Korea.

4 days ago
5







































