Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatur ulang subjek PPh final 0,5 persen dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 untuk menutup celah penghindaran pajak dan memastikan fasilitas dimanfaatkan wajib pajak yang memenuhi kriteria.
“Kami menemukan adanya strategi tax planning, ada beberapa praktik dari wajib pajak (WP) yang mendapat fasilitas PPh final 0,5 persen ini melakukan praktik bunching atau menahan omset dan melakukan praktik firm-splitting atau pemecahan usaha,” kata Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam RDP dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.
Bimo mengatakan praktik tersebut menjadi dasar usulan perubahan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) dalam PP tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan itu untuk mengatur ulang subjek PPh final 0,5 persen, termasuk mengecualikan wajib pajak yang berpotensi digunakan sebagai sarana penghindaran pajak atau anti-avoidance rule.
Selain itu, DJP Kemenkeu juga menemukan bahwa sejumlah wajib pajak masih dapat memanfaatkan tarif final 0,5 persen meski secara konsolidasi telah melampaui batas peredaran bruto.
Atas temuan tersebut, ia mengatakan DJP mengusulkan perubahan Pasal 58 untuk menyesuaikan penghitungan peredaran bruto dengan memasukkan seluruh peredaran bruto dari usaha dan pekerjaan bebas, baik yang dikenai PPh final maupun nonfinal, termasuk peredaran bruto dari penghasilan di luar negeri.
Di sisi lain, lanjutnya, dunia usaha juga meminta agar insentif UMKM dalam Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan 2025 tetap berlanjut. Masa berlakunya PPh final 0,5 persen untuk wajib pajak orang pribadi yang berakhir pada 2024 dan akan diperpanjang hingga 2029.
DJP juga mengusulkan perubahan Pasal 59 untuk menghapus jangka waktu tertentu bagi wajib pajak orang pribadi dan perseroan perorangan, terutama bagi mereka yang sebenarnya masih memenuhi syarat tetapi tidak dapat lagi menggunakan fasilitas PPh final 0,5 persen.
Terakhir, ia mengatakan sebagai bagian dari proses aksesi Indonesia menuju keanggotaan OECD, DJP mengusulkan penambahan Pasal 20A yang secara eksplisit menegaskan bahwa pengeluaran yang bersifat suap, gratifikasi, sanksi administrasi, dan sanksi pidana merupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Bimo mengatakan bahwa harmonisasi seluruh perubahan PP telah dilakukan bersama Kementerian Hukum pada 22-20 Oktober 2025 dan saat ini rancangan berada di Sekretariat Jenderal Kemenkeu untuk pengajuan penetapan kepada Presiden Republik Indonesia.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.








































