Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto buka suara soal fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menilai pemungutan pajak atas bumi dan bangunan (PBB) yang dihuni tidak layak diberlakukan. Bimo menegaskan pengaturan PBB sudah bukan kewenangan pemerintah pusat.
"Ya PBB kan sebenarnya undang-undangnya sudah diserahkan ke daerah. Jadi kebijakan, tarif, kenaikan dasar, pengenaan, semuanya di daerah," kata Bimo kepada wartawan di Kompleks Parlemen RI, Senin (24/11).
Bimo menambahkan, DJP akan tetap berkoordinasi dengan MUI untuk memperjelas persoalan yang menjadi sorotan. Menurutnya, isu yang disampaikan MUI lebih mengarah pada PBB-P2, yakni pajak bumi dan bangunan sektor perdesaan dan perkotaan.
"Kita juga sudah diskusi dengan MUI sebelumnya, jadi nanti coba kita tabayun dengan MUI Karena sebenarnya yang ditanyakan itu PBB-P2 perdesaan perkotaan, pemukiman, itu di daerah. Di kami hanya PBB yang terkait dengan kelautan, perikanan, dan pertambangan, sama kehutanan," ungkapnya.
Sebelumnya, Komisi A (Fatwa) Musyawarah Nasional (Munas) XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan 5 fatwa. Salah satunya tentang pajak berkeadilan.
Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan fatwa tentang Pajak Berkeadilan menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang.
Ketua MUI Bidang Fatwa ini menambahkan fatwa Pajak Berkeadilan ditetapkan sebagai tanggapan hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan PBB yang dinilai tidak adil.
"Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi," kata ulama yang akrab disapa Prof Ni'am, dikutip dari laman MUI.
Lebih lanjut, Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menegaskan, objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
"Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak," tegas Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini.
Prof Ni'am menjelaskan, pada hakikatnya pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial.
"Kalau analog dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial itu secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. Ini bisa jadi batas PTKP," ujarnya.

1 day ago
4






































