Jakarta (ANTARA) - Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Septian Hario Seto mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7-8 persen sangat mungkin untuk dicapai apabila reformasi regulasi dapat dilakukan secara konsisten.
“Pertumbuhan 7-8 persen sangat mungkin dicapai. Kita pernah mencapainya pada 1986-1996, terutama karena reformasi regulasi. Jadi 8 persen bukan angka mustahil jika reformasi regulasi dilakukan secara konsisten,” kata Seto dalam acara DBS Metal and Mining Forum 2025, di Jakarta, Rabu.
Seto mencontohkan studi kasus sebuah perusahaan alas kaki di Jawa Tengah yang harus memproses izin AMDAL selama hampir dua tahun. Karena itu, pemerintah sedang merancang kebijakan jalur khusus untuk industri padat karya agar proses AMDAL bisa lebih cepat.
Meski demikian, Seto menilai Indonesia mampu menavigasi gejolak global karena telah melewati berbagai krisis. Saat ini Indonesia memiliki lebih banyak instrumen fiskal dan moneter. Menurut dia, reformasi struktural dan digitalisasi pemerintahan menjadi faktor penentu dalam menghadapi ketidakpastian global.
Indonesia menargetkan untuk bisa keluar dari middle income trap atau jebakan pendapatan menengah. Untuk itu, menurut Seto, produk domestik bruto (PDB) per kapita perlu mendekati 15.000 dolar Amerika Serikat (AS). Namun, dengan pertumbuhan ekonomi yang masih berada di kisaran 5 persen, target tersebut akan membutuhkan waktu panjang.
“Itu sebabnya kita perlu tumbuh lebih cepat, 6-7 persen. Presiden bahkan menargetkan 8 persen,” ujar dia.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi berbagai risiko eksternal, mulai dari perlambatan ekonomi mitra dagang seperti Tiongkok dan Eropa, ketegangan geopolitik, penataan ulang rantai pasok global akibat kebijakan tarif AS, hingga perbedaan arah kebijakan ekonomi berbagai negara.
Seto menambahkan bahwa sejumlah isu tidak boleh diabaikan, termasuk disrupsi teknologi kecerdasan buatan (AI), ketahanan pangan global, dan perubahan iklim.
Tingginya ketidakpastian global juga berdampak pada turunnya aliran investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI). Tiongkok, sumber FDI terbesar bagi Indonesia, juga menekan investasi luar negerinya.
“Ini membuat banyak negara berkembang kesulitan mengembangkan industri dan mendorong pertumbuhan ekonominya. Karena itu kita perlu mencari sumber investasi alternatif,” kata Seto lagi.
Perlambatan ekonomi Tiongkok juga memicu kekhawatiran atas kelebihan kapasitas (overcapacity) industri negara itu, yang kini dialihkan ke pasar global, kecuali AS.
“Ekspor ke AS anjlok, tetapi ekspor ke ASEAN dan negara lain justru melonjak. Jika ini perdagangan yang adil, bukan dumping, tentu tidak masalah. Namun jika mengarah pada praktik tidak adil, pemerintah akan turun tangan,” ujar Seto.
Terkait investasi di sektor logam dan pertambangan, khususnya hilirisasi nikel, Seto menyebut bahwa Indonesia tidak lagi mengharapkan lonjakan investasi seperti lima tahun terakhir.
Alasan pertama, perlambatan ekonomi Tiongkok membuat negeri itu lebih fokus pada pasar domestik. Alasan kedua, kapasitas produksi nikel Indonesia sudah sangat besar, mencapai 65-70 persen dari produksi global tahun ini.
Untuk mineral kritis, ekspansi tetap berlangsung. Aluminium dinilai akan mendapat momentum besar, karena beberapa proyek besar sedang berjalan.
Pada nikel dan baterai, fokus utamanya bukan ekspansi besar, melainkan penyelesaian proyek yang sudah berjalan, seperti pembangunan fasilitas High Pressure Acid Leach (HPAL) dengan tambahan kapasitas 240.000 ton tahun depan yang bahkan disebut menjadi sorotan pasar global karena risiko kelebihan pasokan.
Di luar Tiongkok, Seto juga mengatakan bahwa Indonesia kini memiliki ekosistem komponen baterai yang paling lengkap, mulai dari alumina, aluminium elektrolitik, anoda (untuk baterai NCM dan LFP), copper foil, material katoda LFP, sel baterai, hingga battery pack.
Untuk banyak komponen, kapasitas Indonesia berada di posisi satu atau dua secara global di luar Tiongkok. Karena itu, ujar dia, Indonesia dapat menjadi sumber diversifikasi rantai pasok baterai bagi pasar internasional.
“Menurut saya, kita hanya perlu menarik sebagian komponen yang kami anggap sangat krusial. Misalnya, prekursor untuk LFP. Kami sedang berdiskusi dengan beberapa perusahaan agar mereka berinvestasi di Indonesia. Kita sudah memiliki fasilitas pemurnian litium, jadi sebenarnya rantainya sudah cukup lengkap,” kata Seto pula.
Baca juga: BKPM optimistis target investasi Rp13 ribu triliun dicapai 5 tahun
Baca juga: Menperin: SBIN strategi mengejar ekonomi 8 persen dari sisi manufaktur
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.







































