4 days ago
5
Clon pembeli memilih pakaian thrifting (ilustrasi). Belanja pakaian bekas seperti thrifting ataupun preloved tidak serta merta mengarah pada keberlanjutan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membeli pakaian bekas sering dianggap sebagai bagian dari sustainable fashion karena membantu memperpanjang umur pakai dan mengurangi permintaan produksi baru pakaian. Namun tidak semua praktik thrifting ataupun preloved dilakukan karena kesadaran lingkungan, ada juga yang hanya demi tren atau profit.
National Chair Indonesian Fashion Chamber (IFC), Lenny Agustin, mengatakan belanja pakaian bekas seperti thrifting ataupun preloved tidak serta merta mengarah pada keberlanjutan. Terutama untuk pakaian bekas impor ilegal, menurutnya, jauh dari napas keberlanjutan karena malah bisa memperparah limbah fashion di Indonesia.
"Menurut saya, pakaian bekas impor ilegal itu malah berefek pada menambah sampah fashion di Indonesia sendiri. Pakaian bekas yang bal-balan itu kan sampah dari negara-negara lain," kata fashion desainer tersebut saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (20/11/2025).
Belakangan ini, praktik preloved juga banyak digandrungi oleh muda-mudi. Bahkan influencer dan selebritas kerap menjual kembali koleksi pakaian, sepatu, hingga tas yang sudah tidak terpakai. Menurut Lenny, gerakan preloved seperti ini bisa dikategorikan sebagai upaya sustainability.
Namun demikian, Lenny menilai, tak semua orang yang terlibat dalam gerakan preloved ini didorong oleh kesadaran menjaga lingkungan. "Preloved menurut saya bisa mendukung sustainable. Tapi gerakan ini juga membuat dorongan untuk membeli produk baru buat persona yang menjual pakaiannya untuk di preloved. Biasanya setelah menjual bajunya di-preloved-kan, orang tersebut akan mengisi lemarinya dengan pakaian baru," kata Lenny.
Tidak hanya itu, menurut dia sering kali customer membeli barang preloved hanya ingin mengoleksi pakaian idola, bukan karena butuh. Karenanya menurut dia, gerakan preloved sekalipun tidak bisa diartikan sebagai upaya keberlanjutan.
