Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Djamari Chaniago menghadiri rapat di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk membahas Revisi Undang-Undang soal Pemerintahan Aceh di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (19/11).
Dalam pemaparannya, Djamari menyorot dua pasal yang menjadi usulan DPR Aceh (DPRA) untuk diubah dalam revisi kali ini. Salah satunya adalah Pasal 11.
“Usulan perubahan Pasal 11 berkaitan dengan pengaturan kewenangan antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat,” ucap Djamari.
“Hal ini merupakan sangat strategis karena berimplikasi langsung terhadap pola hubungan pusat dan daerah, efektivitas koordinasi pemerintahan, serta tata kelola penyelenggaraan urusan pemerintahan di Aceh,” tambahnya.
Djamari menjelaskan, di dalam UU Aceh yang kini berlaku, pemerintah pusat tetap memiliki peran dalam pemerintahan Aceh.
“Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, Pemerintah tetap memegang peran sebagai penetap norma, standar, dan prosedur, serta memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten dan Kota lainnya,” ucap Djamari,
“Mekanisme ini bertujuan memastikan keselarasan norma, standar, dan prosedur secara nasional, serta menjaga keterhubungan antara kebijakan daerah dengan kerangka regulasi nasional,” tambahnya.
Sementara, menurut Djamari, DPRA meminta agar kewenangan pusat itu sepenuhnya dialihkan ke pemerintahan Aceh.
“Sementara itu, usulan perubahan dari DPRA adalah mengalihkan kewenangan sepenuhnya kepada Pemerintah Aceh dan menuangkan ketentuan tersebut dituangkan dalam Qanun Aceh tanpa menyebut peran Pemerintah Pusat dalam pembinaan maupun pengawasannya,” ucap Djamari.
“Perubahan konstruksi tersebut, pada dasarnya memperluas kewenangan regulasi dan pengawasan Pemerintah Aceh, namun perlu dikaji bersama secara cermat agar tidak menimbulkan tumpang tindih dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional, khususnya terkait kewenangan pembinaan dan pengawasan umum oleh Pemerintah serta prinsip hubungan pusat dan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tambahnya.
Djamari pun meminta agar ketentuan kewenangan pemerintah pusat terhadap pemerintah Aceh tak diubah. Pemerintah pusat harus tetap bisa melakukan pengawasan.
“Pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan pembinaan, supervisi, serta koreksi terhadap apabila terjadi pelaksanaan pengawasan yang melampaui batas kewenangan atau bertentangan dengan kepentingan nasional,” ucap Djamari.
Ia menyebut, pengawasan itu tidak bersifat absolut dan tetap berada dalam kerangka sistem pemerintahan nasional yang mengedepankan prinsip check and balances serta hierarki kewenangan.
“Pertama, kewenangan pengawasan Aceh harus dibaca secara sistemik dan konteks Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, serta peraturan perundang-undangan sektoral. Artinya, tidak seluruh urusan dapat diawasi dan dikendalikan sepihak oleh Pemerintah Aceh,” ucap Djamari.
“Yang kedua, penting dipahami bahwa pengawasan pemerintahan di Aceh harus tetap tunduk pada kerangka konstitusional dan regulasi nasional,” tambahnya.

6 days ago
4

,x_140,y_26/01kax7hxp9gssg76ng2npxjbe4.jpg)
,x_140,y_26/01kax76yr9hjr5fbw2c24n1n5g.jpg)
,x_140,y_26/01kax6rwg34neek8ya75cbpsz1.jpg)



































