Polusi udara masih menjadi salah satu tantangan terbesar di kawasan perkotaan, termasuk Jakarta. Jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 11 juta jiwa serta tingginya emisi kendaraan bermotor membuat pencemaran udara terjadi hampir setiap hari. Kondisi ini biasanya memburuk pada musim kemarau, ketika konsentrasi polutan meningkat signifikan.
Situasi tersebut mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memperkuat tata kelola pemantauan kualitas udara berbasis data dan kolaborasi lintas sektor. Pada pertengahan Oktober lalu, sebanyak 111 stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) telah terpasang dan aktif di seluruh wilayah ibu kota.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menjelaskan, sistem pemantauan ini merupakan kombinasi antara stasiun referensi dan sensor berbiaya rendah (Low-Cost Sensor/LCS) yang ditempatkan di berbagai titik strategis.
Ia menambahkan, jaringan pemantauan tersebut merupakan hasil kolaborasi antara DLH DKI Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, serta mitra dari sektor swasta.
Untuk memperkuat tata kelola kualitas udara di Jakarta dan wilayah sekitarnya, Pemprov DKI juga telah mengadakan forum lintas daerah bersama pemerintah daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Kegiatan ini disertai pelatihan teknis guna meningkatkan kapasitas daerah-daerah tersebut dalam memantau dan mengelola data kualitas udara secara lebih efektif.
Sistem Canggih SPKU Jakarta Pantau Udara Kota Secara Real-Time
Berbasis teknologi sensor canggih, SPKU berfungsi memantau, menganalisis, dan melaporkan kondisi udara secara real-time. Sistem ini dapat mengukur parameter pencemar seperti PM₂.₅, PM₁₀, SO₂, NO₂, CO, dan O₃, serta faktor pendukung seperti suhu dan kelembaban udara.
Seluruh data dari SPKU terhubung ke portal publik udara.jakarta.go.id. Masyarakat pun bisa melihat data kualitas udara terkini berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Warga bisa memantau penyebaran sensor, hingga memperoleh rekomendasi aktivitas bagi kelompok masyarakat tertentu.
“Jakarta telah membuktikan bahwa tata kelola data yang terbuka dan terintegrasi tidak hanya memperkuat kebijakan berbasis bukti, tetapi juga mendorong partisipasi masyarakat untuk hidup lebih sehat dan berkelanjutan,” ujar Asep.
Tak berhenti di situ, data SPKU menjadi dasar bagi Pemprov DKI untuk menyusun kebijakan pengendalian polusi dan program edukasi lingkungan. Salah satunya, Early Warning System (EWS) sebagai langkah antisipatif terhadap potensi peningkatan pencemaran.
“Melalui sistem peringatan dini ini, warga akan mendapatkan informasi kualitas udara secara real-time hingga tiga hari ke depan, lengkap dengan rekomendasi langkah mitigasi, seperti memakai masker atau mengurangi aktivitas di luar ruangan,” tegasnya.
Terobosan Pemprov DKI disambut positif para pakar di bidang lingkungan dan kesehatan masyarakat. Mereka menilai, langkah ini memperluas sistem pemantauan udara sebagai bentuk keseriusan dalam menangani polusi yang selama ini menjadi salah satu tantangan utama.
Direktur Clean Air Asia Indonesia, Ririn Radiawati Kusuma menyebut Jakarta bisa menjadi contoh baik bagi kota-kota lain dalam membangun sistem pemantauan udara yang terintegrasi.
”Dengan berbagi praktik baik seperti ini, kita bisa membangun sistem pemantauan yang saling terhubung. Ka...

1 week ago
4

,x_140,y_26/01kax7hxp9gssg76ng2npxjbe4.jpg)
,x_140,y_26/01kax76yr9hjr5fbw2c24n1n5g.jpg)
,x_140,y_26/01kax6rwg34neek8ya75cbpsz1.jpg)



































